Malam ini aku hanya ingin kembali merenung tentang bagaimana menjalani kehidupan ini. Dalam kehidupan tentu tidak lepas dari masalah. Kita harus menghadapinya, bukan menghindarinya. Menyelesaikannya semampu kita.
Di lain sisi, kehidupan ini sesungguhnya hanya mencari aman dan bahagia. Itulah dua hal yang kita kejar sepanjang waktu. Mana ada orang yang ingin hidup di bawah ancaman sepanjang waktu? Siapa orang yang ingin hidup sengsara sepanjang masa? Tentu saja tidak ada yang mau.
Mengenai kebahagiaan, ada semacam standar ganda. Ada kebahagiaan dari sisi dalam diri, ada juga kebahagiaan yang biasanya dibuat oleh lingkungan atau budaya. Kalau soal dalam diri tentu kita mampu mengendalikannya. Namun, untuk standar dari luar diri bagaimana seharusnya kita menghadapinya?
Inilah yang sering kali menjadi pertanyaan banyak orang. Betapa banyak orang mengikuti apa kata orang lain. Ia seolah tak punya pendirian. Tak punya kemandirian dalam menentukan sikap yang pada akhirnya membahagiakan dirinya. Ia dibelenggu kebahagiaan semu yang bisa jadi begitu dibencinya.
Contohnya banyak. Misalnya buat kamu yang sudah menikah, lihatlah betapa banyak orang di sekitar yang pada akhirnya bertanya ini dan itu yang lama kelamaan menjadi risih mendengar pertanyaan yang sama berulang kali. Misalnya, “Kapan nih isi? Kapan nambah lagi?” dan berbagai pertanyaan lain yang bisa kamu temukan variasinya di masyarakat.
Pertanyaan tersebut akan semakin terasa menjemukan ketika datang dari keluarga. Bukannya tidak mau menjawab atau apa, tetapi terkadang mengulang pertanyaan yang sama berkali-kali terasa begitu menyakitkan. Tak mampukah mereka tunjukkan sedikit simpati dengan mendengar cerita kita atau memberi saran ini dan itu yang barangkali jauh lebih melegakan daripada menanyakannya berulang kali tiada henti.
Efek buruknya, ketika kita tidak mampu mengendalikan emosi, maka jawaban yang muncul bisa jadi hardikan, bentakan yang sebetulnya takut bila itu menjadi doa. Pandai mengatur emosi menjadi kunci di sini.
Lantas, apa solusinya? Bagaimana kalau kita membuat semacam standar pribadi, jawaban bijak atas pertanyaan personal yang diulang terus-menerus. Misalnya dengan jawaban, “Doakan ya. Mungkin ada nasihat agar kami bisa segera mewujudkannya?” Atau jawaban lain yang bisa menghadirkan kebahagiaan dalam diri.
Bagaimana kedengarannya? Jauh lebih enak didengar bukan? Pada akhirnya, semua kembali pada diri masing-masing bagaimana menyikapi segala permasalahan, terutama terkait pertanyaan personal semacam kapan menikah atau kapan punya momongan.
Kita tidak mampu membahagiakan semua orang karena memang bukan itu tugas kita. Gapailah bahagiamu dengan cara-cara yang bijak dan sesuai dengan tuntunan Allah. Terkadang tidak memedulikan pertanyaan bukan berarti sombong, tetapi itulah pilihan terbaik supaya kebahagiaan diri dapat terus terjaga sepanjang waktu. Marilah mengembangkan saling memahami dan simpati di antara kita.