Satu hal yang saya perhatikan ketika puasa Ramadan akan berakhir adalah budaya meminta zakat. Mulai dari yang anak-anak sampai dewasa bahkan manula melakukan hal yang sama. Mereka akan mendatangi kediaman orang yang berpunya, berucap, "Pak, zakate.". Lantas, setelah diberi sesuai kemampuan pemilik rumah, mereka akan ngacir. Melanjutkan hal yang sama di rumah-rumah orang "punya" lainnya.
Budaya minta zakat ketika menjelang lebaran lazim ditemui di kampung. Mungkin kalau di kota jarang, atau hampir tidak ada. Saya sendiri tidak tahu sudah sejak kapan budaya itu terbentuk dan akhirnya menjadi tradisi.
Sebenarnya berzakat kepada para mudtadh'afin sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim yang mampu. Sebab ia termasuk dari rukun Islam yang lima. Kewajiban zakat itu dikeluarkan melalui badan zakat yang telah dibentuk pemerintah, yaitu Baznas (Badan Amil Zakat Nasional). Meskipun beberapa orang membayar zakat melalui beberapa instansi penyalur zakat seperti masjid atau badan amil zakat lainnya.
Zakat sebenarnya tidak menjadi masalah. Masalah ada pada mental yang dimiliki mustadh'afin itulah terkadang yang membuat miris. Betapa tidak, mereka terkesan meminta-minta zakat kepada orang yang "punya". Bahkan, anak-anaknya disuruh melakukan hal yang sama. Bila diteruskan, hal tersebut akan menjadi kebiasaan negatif yang tidak seharusnya dilanjutkan. Anak-anak tersebut akan tumbuh dengan mental miskin. Mental peminta, bukan pemberi. Padahal Rasulullah lebih suka kepada hamba yang memberi (tangan di atas) daripada yang meminta-minta (tangan di bawah).
Nak, bila kelak kau dewasa, kuharap kau tidak melakukan hal demikian. Jagalah kehormatanmu dengan tidak meminta-minta. Berusahalah lebih keras lagi untuk memenuhi hajat hidupmu. Perluaslah relasi dengan silaturrahim, insyaAllah Allah akan membukakan pintu rezekinya.
#curahanhati #ramadan #hariraya #budaya #zakat