Beberapa waktu, saya menghabiskan waktu dengan membaca buku Disruption karya Rhenald Kasali. Ulasannya begitu detail disertai teori dan contoh mutakhir tentang disrupsi. Lalu, apa yang dimaksud dengan disrupsi?
Dari hasil bacaan saya, disrupsi terbagi ke dalam dua kata, yaitu distraktif dan inovasi kreatif. Intinya adalah kehadiran model bisnis saat ini mengguncang kenyamanan para pemain lama (inkamben). Pemain lama terlanjur senang dengan ekonomi kepemilikan yang jauh berbeda dengan konsep ekonomi berbagi para milenial.
Inkamben menganggap bahwa untuk memulai usaha dibutuhkan dana besar, SDM dalam satu lingkup, sarana prasarana yang dimiliki secara lengkap. Menurut milenial hal ini membuat banyak aset menganggur bila tidak dipakai. Bagi milenial, mereka hanya perlu menghubungkan para pemilik modal, barang, dan konsumen. Dengan begitu, semua aset terpakai dan tak ada yang terbengkalai.
Maka, pemenangnya bisa dibaca. Inkamben yang mau berbenah dan paham perubahanlah yang jauh lebih mampu mengimbangi hadirnya disruptor ala milenial ini. Misalnya Telkom yang awalnya bergerak di telepon kabel, diberi kewenangan pemerintah untuk mengembangkan bisnis sesuai zaman, yaitu jaringan nirkabel telkomsel. Terbukti, telkom selamat dari gencaran disruptor.
Berbeda halnya dengan perusahaan transportasi yang terdisrupsi aplikasi seperti uber, grab, atau gojek. Mereka meminta kesamaan dalam hal aturan kepada pemerintah. Hal ini tentu tidak mudah. Peran pemerintah diperlukan di sini. Pemerintah harus paham tentang konsep disrupsi agar aturan yang dibuat sejalan dengan apa yang diinginkan baik oleh inkamben maupun pendatang baru.