Kali ini, saya hanya ingin berbagi betapa memori Ramadan-Ramadan yang lalu begitu indah adanya. Entahlah. Ada yang berbeda pada Ramadan kali ini.
Bagi perantau, kali ini mungkin ujian kerinduan semakin memuncak. Kesabaran untuk tidak bertemu sanak saudara dan keluarga di kampung halaman begitu menyesakkan dada. Tetapi, demi kebaikan bersama, ia rela tak pulang. Padahal, biasanya ia sudah pesan tiket jauh-jauh hari, membeli ini dan itu, berkabar kepada keluarga di kampung. Tetapi, kali ini senyap. Hanya pesan singkat tentang ketidakpulangan yang datang.
Saya rindu pada jemaah Tarawih di masjid yang begitu ramai itu. Sejujurnya tak hanya ketika Tarawih, tetapi juga ketika salat fardu pun saya rindu keramaian jemaah. Tetapi, kali ini lengang. Suara-suara mengaji seakan hilang. Bukan hilang sepenuhny, hanya berpindah dari surau ke rumah-rumah. Bersyukur sebab memang perintah Rasulullah adalah menyinari rumah dengan salat dan bacaan Alquran.
Saya pun rindu pada kebersamaan panitia Ramadan dan Idulfitri. Betapa kali ini segala yang dirancang, tiada satu pun yang terwujud. Beruntung mungkin sebab tak dipusingkan dengan laporan yang menumpuk, tetapi siapa yang bisa menghadang kerinduan pada keriuhan dan kerja sama yang erat kala itu.
Itulah fenomena yang terjadi. Ya sudahlah. Diterima saja. Wabah ini memang mengubah banyak hal. Yang dekat dipaksa berjauhan, yang jauh entah bagaimana terasa begitu dekat. Bahkan sampai ada guyonan bahwa kali ini manusia sudah dikurung terlebih dahulu daripada setan pada Ramadan. Ah, ada-ada saja.
Saya hanya berharap wabah ini cepat berlalu, kita bisa kembali bertemu, berjabat tangan dengan erat tanpa malu-malu. Selamat menunaikan ibadah puasa pada Ramadan Seribu Empat Ratus Empat Puluh Satu. Semoga sehat selalu.