Di abad ini, seiring dengan perkembangan pemikiran dan budaya masyarakat, setumpuk problematika kehidupun muncul kepermukaan. Mulai dari permasalahan masyarakat kalangan bawah sampai pada kalangan teknokrat dan feodal. Mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, tak terkecuali sosial-politik. Semua itu memerlukan jawaban yang mapan.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi harkat manusia dengan misi utamanya “rahmatan lil alamin” , tertantang untuk menjawab semua problem di atas.
Tapi benarkah Islam menjadi rahmat bagi segenap manusia, sementara sebagian hukumnyaseperti yang terekam dalam sejumlah kitab klasik- terkesan sangat memberatkan? Keraguan ini sangat beralasan, akan tetapi bisakah keraguan itu dibenarkan? Ataukah keraguan tersebut hanya sebatas keraguan yang tak beralasan karena kurang memahami prinsip hukum Islam?
Secara etimologi, Maslahah berarti manfaat, kemanfaatan, atau pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan terminologi, Al Gahazali menyatakan bahwa maslahah pada prinsipnya adalah mengambil manfaat dan menolak mudlarat untuk memelihara tujuan-tujuan syariat (Nasution: 114).
Menurut Al Ghazali, maslahah harus sejalan dengan tujuan syariat, sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia. Sebab, kemaslahatan yang dikehendaki oleh manusia tidak selamanya didasarkan pada tujuan syariat. Tapi, sering didasarkan pada hawa nafsunya. Oleh karena itu, parameter untuk menentukan kemaslahatan itu adalah tujuan syariat.
Tulisan singkat ini mencoba mengkaji maslahah mursalah dan relevansinya dengan perkembangan hukum Islam.
Varian-varian Maslahah
Ditinjau dari materinya, para ulama ushul fikh membagi maslahah menjadi dua :
1. Maslahah ammah ;
Maslahah al ammah adalah kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya ulama memperbolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
2. Maslahah khassah .
Maslahah khashsah adalah kemaslahatan pribadi. Maslahah khashsah ini sering terjadi dalam kehidupan kita seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang.
Pembagian kemaslahatan di atas sangat urgen, karena berkaitan dengan prioritas yang harus diambil ketika terjadi benturan antara kemaslahatan umum dan kemaslahatan yang bersifat indivual. Dalam pertentangan keduanya, Islam mendahulukan kemaslahatan umum dari kemaslahatan pribadi.
Sementara dilihat dari berubah atau tidaknya maslahah , Muhammad Mustafa al-Ayalabi membagi maslahah menjadi 2 :
1. Maslahah al stabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat permanin (tetap) dan tidak berubah sampai akhir zaman. Maslahah ini berkait dengan aspek ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji dsb.
2. Maslahah Mutaghayirah, yaitu kemaslahatan yang selalu berubah sesuai dengan perubahan situasi, kondisi, dan subyek hukum. Kemaslahatan ini berkaitan erat dengan intraksi sosial ( muamalah ) dan adat kebiasaan.
Dan dilihat dari segi keberadaan Maslahat itu sendiri, syariat membaginya atas tiga bentuk yaitu:
1. Maslahah muktabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syariat.
Maksudnya, ada dalil khusus yang menjadi bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Dalam kasus peminum khamer misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadis Nabi dipahami secara berlainan oleh para ulama fikh, disebabkan perbedaan alat pemukul yang digunakan oleh Rasulullah SAW.
2. Maslahah al-mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syariat karena bertolak belakang dengan ketentuan syariat.
Misalnya, syarak menetukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan ramadan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin (H.R. al Bukhari dan Muslim). Terkait dengan kasus ini al Laits Ibnu Sa’ad langsung menetapkan dengan hukuman berupa puasa dua bulan berturut-turut bagi seorang penguasa yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadlan (al-Hassan: 1997, 428).
Dalam kasus ini, para ulama memandang putusan hukum yang diberikan oleh al-Laits tadi bertentangan dengan Hadits Rasullah di atas, karena bentuk-bentuk hukum itu menurut mereka harus diterapkan secara berurutan. Oleh sebab itu ulama ushul fikh memandang mendahulukan puasa dua bulan berturut-turut daripada memerdekakan seorang budak dengan dalil kemaslahatan hukum, merupakan kemaslahatan yang bertentangan dengan kehendak syarak, sehingga dengan sendirinya putusan itu menjadi batal. Kemaslahatan semacam ini, menurut kesepakatan mereka disebut Maslahah al Mulghah dan tidak bisa dijadikan sebagai landasan dalam memproduk hukum.
3. Maslahah yang keberadaannya tidak didukung oleh syarak dan tidak pula ditolak melalui dalil yang detail (rinci).
Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu :
pertama , maslahah al-gharibah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau suatu kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syarak, baik secara rinci maupun secara umum. Ironisnya, para ulama ushul fikh sendiri tidak dapat mengemukakan contohnya yang pasti. Bahkan Imam as Syatibi menyatakan, kemaslahatan jenis ini tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun ada secara teori.
Kedua , maslahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh dalil syariat atau nash secara rinci, namun ia mendapat dukungan kuat dari makna implisit sejumlah nash yang ada.
Berargumen dengan maslahah
Ulama ushul fikih sepakat menyatakan bahwa maslahah muktabarah dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Sedang maslahah al Mulghah dan maslahah al gharibah dianggap tidak dapat digunakan untuk menetapkan hukum Islam.
Pada prinsipnya, semua ulama madzhab menerima maslahah al-mursalah sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syariat sekalipun mereka berbeda pendapat dalam peristilahan, menentukan syarat, penerapan, dan penempatannya.
Menolak kemudlaratan, merupakan tujuan syarak yang wajib dilakukan. Ia termasuk dalam konsep maslahah muarsalah. Atas dasar itulah ulama hanafiyah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, dengan syarat bahwa kemaslahatan tersebut terdapat dan didukung oleh nash dan ijma’ . Penerapan konsep maslahah mursalah di kalangan hanafiyah terlihat sangat luas dalam metode Istihsan.
Maslahah ini yang menyebabkan Saydina Abu Bakar Ra mengumpulkan lembaran-lembaran al Quran yang berserakan sehinggadalam perkembangannyamenjadi satu mushaf. Sebelumnya, kodifikasi ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dengan dasar maslahah pula Saydina Umar Ra membentuk kota-kota administrasi, membangun penjara, dsb.
Selain hanafiyah, madzhab Maliki dan Hambali adalah madzhab yang menerima maslahah mursalah sebagai landasan hukum, bahkan kedua madzhab ini dianggap sebagai ulama fikh yang paling banyak dan luas dalam menerapkannya. Menurut mereka maslahah mursalah adalah hasil induksi dari logika sekumpulan nash, akan tetapi bukan dari nash-nash yang rinci sebagaimana dalam Qiyas.
Alasan-alasan yang digunakan jumhurul ulama untuk menjadikan maslahah sebagai pijakan hukum, antara lain :
1. Kesimpulan mereka atas sejumlah ayat dan hadist yang menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia sebagaimana disinyalir firman Allah dan tidaklah kami mengutus mu (Muhammad) melainkan sebagai Rahmat bagi semesta alam .
Menurut mereka, Rasulullah SAW tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu, serta subyek hukum.
Apabila syariat Islam hanya dibatasi pada hukum-hukum yang sudah ada saja, padahal problematika dan kemaslahatan selalu muncul dan berkembang, maka akan membawa kesulitan bagi umat manusia.
3. Penggunaan maslahah mursalah ini juga didasarkan pada beberapa atsarus sahabah .
Kereteria Maslahah dan Pandangan-pandangan Ulama tentangnya
Untuk menjadi pijakan hukum, ulama menetapkan beberapa kereteria yang harus dipenuhi. Beberapa syarat maslahah tersebut adalah :
Kemaslahatan sejalan dengan maksud syariat.
Kemaslahatan itu harus bersifat rasional, bukan sekadar perkiraan ( Zaidan:1996, 242) .
Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Madzhab Syafii pada dasarnya juga menjadikan maslahah mursalah sebagai salah satu dalil syariat. Akan tetapi beliau lebih cenderung memasukkannya ke dalam bagian Qiyas. Misalnya, beliau mengqiyaskan hukuman bagi peminum arak pada hukuman orang yang menuduh orang berzina, yaitu berupa dera sebanyak 80 kali, karena orang yang mabuk diduga kuat akan menuduh orang lain berbuat zina.
Tidak dipungkiri bahwa kebanyakan hukum yang dilahirkan dari qaul jadid Imam Syafi’i di Mesir didasarkan pada adat penduduknya. Ini tidak lain hanyalah untuk kemaslahatan penduduknya.
Al-Ghazali juga membahas maslahah mursalah dalam kitab al-mustasfâ . Menurutnya, syarat untuk menjadikan maslahah mursalah sebagai argumen untuk mengambil hukum sama dengan tiga point di atas walaupun sedikit berbeda pada point kedua dan ketiga, yatiu:
(1). Maslahah itu sejalan dengan syariat;
(2). maslahah itu tidak bertentangan dengan nash syariat;
(3). maslahah tersebut masuk dalam kategori maslahah dlaruriyah (kebutuhan yang sangat mendesak), baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kepentingan orang banyak. Untuk yang terahir ini, al-Ghazali mengatakan bahwa hajiyah (kebutuhan biasa), apabila menyangkut kepentingan orang banyak bisa menjadi dlaruriyah .
Selanjutnya beliau menambahkan, jika yang dimaksudkan dengan maslahah mursalah adalah untuk mewujudkan moralitas unversal syariat maka dalil ini tidak perlu diperselisihkan lagi dan harus diikuti. Namun, jika terjadi pertentangan antara dua maslahah, maka harus dilakukan tarjih .
Senada dengan itu Al-Qurtubi menyatakan bahwa dengan adanya batasan-batasan itu maka dalil ini tidak seharusnya diperselihkan eksistensinya. Walaupun para ulama fikih mengemukakan syarat-syarat yang sangat ketat dalam menggunakan maslahah sebagai pijakan hukum, namun pada kenyataannya, para sahabat yang memenuhi semua syarat tersebut.
Mereka hanya menjaga kemaslahatan meskipun sifatnya hanya parsial, teka-teki, atau dzanni (praduga). Hal ini pernah dilakukan oleh Saydina Umar Ra ketika menghukumi talak terhadap seorang wanita yang suaminya hilang selama empat tahun. Keputusan Saydina Umar Ra ini adalah untuk melindungi kemaslahatan si istri tersebut dan menghindarkannya dari bahaya meskipun tidak ada kejelasan mengenai kematian sang suami Pendapat Saydina Umar Ra di atas disepakati oleh saydina Utsman Ra, Saydina Ali Ra, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan sejumlah tabi’in .
Keputusan seperti ini juga banyak diambil oleh para sahabat pada kasus-kasus yang berbeda . Oleh karenanya, Imam al Syatibi dalam memberlakukan maslahah mursalah tidak menetapkan syarat sebagaimana yang dilakukan oleh al-Ghazali, khususnya poin pertama dan kedua. Hanya saja beliau memberikan tiga hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakan dalil maslahah , yaitu :
(1) bersifat logis, dan bukan masalah ta’abbudi (ibadah) karena hal-hal yang bersifat ta’abbudi adalah sesuatu yang harus diterima;
(2) berhubungan dengan tujuan syariat secara global dengan tidak menghilangkan hukum dari asalnya, serta tidak ada dalil yang menunjukkan secara qath’i ;
(3) penggunaan dalil tersebut untuk menjaga sesuatu yang mendesak ( dharuri ) atau menghilangkan kesulitan dalam agama (al-Qaradhawi: 2002, 77).
Dasar penggunaan dalil maslahah untuk menghilangkan kesulitan adalah untuk meringankan dan mempermudah. Oleh karena itu, tidak harus memenuhi beberapa syarat yang dikemukakan olah al-Ghazali. Sebab, kemaslahatan adakalanya bersifat mendesak. Tidak menjadi keharusan pula bahwa sesuatu yang menyeluruh itu meliputi kepentingan umum. Sedangkan memelihara maslahat pribadi dan kelompok-kelompok yang berbeda diakui oleh syariat. Maslahah yang dapat dijadikan sebagai pijakan hukum itu tidak harus berupa dalil qat’i (pasti). Dzan yang rajih pun dibenarkan dalam hukum derivasi.
Tokoh lain yang berbicara tentang maslahah ini adalah Najm al Din al-Thufi. Dia memandang bahwa inti ajaran Islam yang terkandung dalam nash adalah maslahah bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemaslahatan disyariatkan. Kemaslahatan tidak perlu mendapat dukungan dari nash , baik literal atau tersirat.. Menurutnya, maslahah merupakan dalil kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syariat.
Pandangan al-Thufi ini tentu bertentangan dengan paham yang dianut oleh mayoritas ulama ushul fikih di zamannya yang memandang bahwa maslahah harus didukung syariat, baik literal atau tersirat. Karena pandangan ini juga, al-Thufi termarginalkan dari forum-forum ulama ushul fikih di zamannya. Akan tetapi, pemikirannya tentang maslahah ini kemudian banyak dikaji oleh ulama ushul sesudahnya, terutama oleh pemikir kontemporer.
Alasan al Thufi dalam menjadikan maslahah sebagai hujjah sebagai berikut :
(1) akal bebas menentukan maslahah dan mafsadah;
(2) maslahah hanya berlaku dalam mu’amalah dan adat, sedangkan ibadah merupakan hak Allah semata;
(3) maslahah adalah dalil yang mandiri dalam menetapkan hukum syariat, tidak butuh dukungan nash. Oleh karenanya, jika terjadi pertentangan dengan nash maka maslahah harus dimenangkan dengan cara men takhsish nash dan bayan .
Walupun secara sepintas orang akan mengklaim pandangan al Thufi ini sangat radikal, namun menurut penulis, pandangan al-Thufi sebenarnya tidak jauh berbeda al-Ghazali atau al-Syatibi. Hal itu karena pandangan al Thufi mengenai maslahah ini lebih menekankan pada sejumlah kasus yang bersifat dharurah . Sehingga menurut beliau, ketika maslahah berseberangan dengan nash maka yang dimenangkan adalah maslahah.
Kesimpulan.
Maslahah mursalah relevan dalam kehidupan masyarakat yang selalu berkembang terutama pada era modern saat ini. Tanpanya, para ulama dan intelektual Muslim akan mendapati kesulitan dalam memproduk hukum yang relevan dan menyentuh segala aspek kehidupan bermasyarakat.
Dengannya, hukum tidak kaku, tidak mempersulit, dan sesuai dengan kadar masyarakat, yang pada gilirannya akan ditinggalkan. Namun begitu, hukum juga tidak liberal (bebas) yang berakibat pada tidak adanya parameter yang pasti dan jelas sehingga mudah diperalat sebagai alat justifikasi oknum-oknum tertentu.
Relevansi hukum-hukum Islam sebenarnya nampak pada perbedaan produk hukum ulama-ulama terdahulu. Mereka memproduk hukum sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Bahkan al-Syafi’i pun mempunyai qaul qadim dan qaul jadid .
Masalahnya sekarang, kenapa kebanyakan ulama masa sekarang merasa puas bahkan memandang sudah cukup dengan putusan-putusan hukum yang ditetapkan oleh ulama sekitar empat belas abad yang silam? Semoga fenomena itu bukan disebabkan oleh statemen yang mengatakan bahwa pintu ijtihad sudah ditutup. Amin.
MUHAMMAD AMIN
MUHAMMAD AMIN