“Min, .. min .. tunggu ...” panggil
Agung dari kejauhan seusai sholat isya’ di masjid tarbiyah.
“’afwan gung, aku nggak bisa ikut, ada acara di luar.”
Kataku cepat tanpa menatap wajahnya sedikit pun.
###
Namaku Amin, seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab semester 3 di
sebuah universitas islam ternama di kota Malang. Aku terkenal dengan kepintarannya
di bangku kuliah. Aku aktif di berbagai perkumpulan dan organisasi kampus,
salah satunya Alkindi, klub debat bahasa arab kebanggaan jurusan Pendidikan
Bahasa Arab yang dari tahun ke tahun selalu menorehkan tinta emas bagi kampus
yang terkenal dengan sebutan kampus hijau ini. Disebut kampus hijau karena
kampus ini dipenuhi dengan pohon-pohon rindang yang tumbuh di taman-taman
kampus.
Suatu saat, aku dilanda kegalauan yang menghimpit jiwa. Kontroversi hati
telah melandaku. Timbul perasaan sedikit tidak yakin dengan kemampuanku dalam
hal berdebat bahasa arab di Alkindi. Satu sisi, aku ingin sekali mengembangkan skill
berdebat ku, di sisi lain, hatiku terus saja meradang memintaku untuk
segera hengkang dari perkumpulan Alkindi ini. Entah perasaan apa, aku sendiri
tak tahu, tapi yang pasti hati terdalamku mengatakan demikian.
Akhir-akhir ini, aku sering dipergoki si Agung, ketua Alkindi
2013, tidak mengikuti latihan rutin Alkindi dan acara kumpul-kumpul lainnya
yang berkaitan dengan Alkindi. Sms dan telepon dari Ketua Alkindi semakin
bertambah intensitasnya dari hari ke hari sejak aku tidak mengikuti latihan
rutin Alkindi yang biasa diadakan setiap Selasa sore dan Sabtu pagi. Pernah
satu kali aku angkat telepon dari Agung,
“min, kenapa kamu nggak pernah balas sms, aku telepon nggak pernah
diangkat, kumpul juga nggak. Ingat, kita ini satu keluarga. Sempatkanlah
kumpul walau sebentar. Kamu kok sok sibuk gitu sih akhir-akhir ini, ...”
Tanyanya dengan nada yang walau tidak kutahu secara pasti, tentunya merupakan
ekspresi kekecewaan seorang ketua kepada anggotanya.
“Aku memang sibuk kok.” Jawaban itu meluncur begitu saja dari lisanku
seraya menutup telepon dengan paksa.
###
Dapat dibilang masa laluku dalam hal berdebat lumayan bagus, mulai
mengikuti lomba debat bahasa arab dari level regional sampai tingkat nasional,
meski tak pernah lolos sampai menjuarai lomba debat, tetapi setidaknya
pengalaman berharga dari setiap lomba menjadi cambuk bagiku untuk terus bangkit
dan maju. Tetapi tatkala memasuki dunia kampus, aku merasa memperdebatkan
masalah yang tidak perlu diperdebatkan itu membuang-buang waktu saja. Selain
itu, aku ingin lebih fokus dengan kuliahku di Pendidikan Bahasa Arab karena
semester pertama dan kedua, Indeks
Prestasi 4,00 alias cumlaude dapat aku raih dengan perjuangan kerasku. Disamping
itu, aku ingin merasakan hidup layaknya mahasiswa lain, aku ingin
bersenang-senang di hari libur, mendaki gunung, pergi ke pantai, dsb. Sayang
seribu sayang, semua itu sirna ketika aku harus masuk dalam klub Alkindi.
Untuk sedikit mengurangi kegundahan hati beberapa bulan ini, aku mencoba
ikut IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Disana, aku merasa lebih tenang dan
senang. Selain karena organisasi tersebut sesuai dengan latar belakang keluargaku,
aku juga memang sudah paham mengenai seluk-beluk organisasi tersebut. Di lain
waktu, aku juga mengikuti IKAMARO (Ikatan Mahasiswa Bojonegoro). IKAMARO
terbilang besar di kampus hijau tersebut karena memang cukup banyak mahasiswa
kampus hijau yang berasal dari Kota Angling Dharma. Karena berasal dari satu
daerah, kita merasa memiliki visi dan misi yang sama, yakni mengharumkan nama
Bojonegoro di kampus hijau ini melalui berbagai aktivitas bermanfaat seperti
lomba dan lain sebagainya. Kita sudah seperti keluarga meski tidak terpaut hubungan
darah sedikit pun, rasa senasib sepenanggunganlah yang telah mampu menjadikan
kita semua di IKAMARO bersatu dan saling menghormati satu sama lain.
###
Mendekati UAS, aku semakin memfokuskan diri pada kuliah dan kegiatan
yang menunjang akademik sehingga aku merasa perlu memilih organisasi mana yang
harus ikuti agar tidak mengganggu kegiatan akademikku. Kupilih organisasi yang
tidak ada hubungannya dengan fakultas maupun jurusanku. Akhirnya kupilih IMM
dan IKAMARO sebagai alternatif sekaligus pengganti dari Alkindi. Disana
kudapatkan kawan-kawan baru yang mungkin juga aku dapatkan di Alkindi, tetapi
keputusanku telah bulat untuk hengkang dari Alkindi. Hingga pada suatu hari,
kutulis surat kepada Ketua Alkindi yang pada intinya adalah aku akan hengkang
dengan segera dari Alkindi.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sebenarnya sudah lama ingin kutulis surat ini kepada antum tapi baru
sempat hari ini aku tulis. Maksud utama dari aku menulis surat ini adalah
permohonan maaf kepada teman-teman di Alkindi. Mungkin selama ini ada salah
kata dan salah perkataan baik yang aku sengaja maupun tidak aku sengaja. Hal
lain yang ingin aku ungkapkan disini adalah bahwa aku ingin segera keluar dari
Alkindi ini.
Mohon maaf sebelumnya, mungkin ini terlalu lancang. Tapi keputusanku
sudah bulat, sebenarnya aku benar-benar tidak ingin masuk Alkindi ini sedari
awal, tetapi semua kupendam sampai akhirnya aku harus mengakuinya dan terpaksa
harus keluar pada hari ini.
Terimakasih kepada semua teman-teman Alkindi yang sudah memberi banyak
masukan, dorongan, semangat agar aku selalu mengembangkan diri dimana pun dan
kapan pun aku berada. Kalian adalah teman-teman terbaikku. Tolong tetap anggap
aku sebagai bagian dari kalian. Kita tetap satu, satu keluarga sampai kapan
pun.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Muhammad Amin
Satu pelajaran penting dari itu semua
adalah aku sadari bahwa aku, kita dan mereka adalah satu. Satu keyakinan, satu
agama dan sudah barang tentu satu keluarga sampai ajal menjelang.
MUHAMMAD AMIN
MUHAMMAD AMIN