Entah mengapa, menuju usia seperempat abad ini diri selalu bertanya-tanya siapakah pasangan yang kelak mendampingi hingga maut memisahkan. Mungkin karena teman-teman seperjuangan sudah menemukan belahan jiwanya. Ah, itu iri namanya. Bilang saja diri ini tak kuat godaan melihat mereka yang menikah duluan.
.
Semakin dewasa, cinta ini semakin logis saja tampaknya. Dulu diri begitu mudah jatuh cinta pada seseorang. Berkenalan, say hello, minta nomor gawai, chat whatsapp dan facebook, jalan-jalan ke sana kemari berdua. Serasa lupa pada dosa.
.
Sekian tahun berkuliah memang diri cukup mudah terpikat pada lawan jenis. Ciri fisik mungkin jadi patokan utama kala itu. Tapi sekarang, inner beauty, kepribadian, rajinnya beribadah, muamalah dengan teman dan orang tua rasanya menjadi lebih penting daripada ciri fisik yang menawan itu.
.
Selain itu, aku juga tak mau kerja dua kali. Maksudnya kupertimbangkan juga agar ia satu frame, satu pemikiran terutama dalam menjalankan ritual peribadatan pada Sang Pencipta. Mungkin banyak orang bilang, tak apa berbeda, bukankah pasangan itu ada untuk saling melengkapi dan memahami perbedaan masing-masing? Memang, itu benar. Tetapi kalau proses itu terjadi terlalu lama, bukankah hal itu semakin menguras waktu yang sesungguhnya bisa dialihkan pada hal-hal lain yang lebih penting?
.
Mungkin untuk saat ini aku akan fokus pada perbaikan diri. Sembari mencari mereka-mereka yang mau melengkapi dan menyertai hingga ujung usia. Tanpa mengungkit masa lalu, tanpa kembali terjebak di masa lampau.
.
Aku suka menulis. Sepertinya aku butuh partner hidup yang paham akan dunia tulis menulis, atau setidaknya mendukung hobi menulisku. Beberapa waktu terakhir aku mencoba mencari-cari. Meski kesemuanya masih terpaut usia sekian tahun. Satu hal yang sedikit mengganggu pikiranku adalah mengapa para penulis yang kukenal itu usianya sekian tahun lebih tua dariku?
.
Sebenarnya rentang usia tak jadi masalah. Selagi ia mau menerima diri ini apa adanya. Ia mau dibimbing oleh sosok pria yang bisa jadi dahulu adalah adik kelasnya sendiri. Tak ada salahnya kan? Namanya juga cinta, terkadang ia tak perlu dipikirkan dengan logika otak, ia hanya perlu dirasakan oleh hati, dipahami, lantas dijalani sambil terus belajar tiada henti.
.
Aku masih belum bisa menentukan langkah. Aku masih harus terus mencari dan mengamati. Aku akan fokus selesaikan studi. Selepas itu fokus bekerja untuk mempersiapkan diri menapaki kehidupan rumah tangga nanti. Aku yakin ketika niat-niat suci atas-Nya ditancapkan kuat dalam dada, maka kuasa-Nya akan menuntun diri menemukan siapa sesungguhnya yang dicari.
.
Hingga akhirnya, kita akan berdua merenda mahligai rumah tangga, melahirkan generasi-generasi tangguh penguat Islam dan penyejuk mata, lalu menua dengan tenang hingga kelak kembali ke haribaan-Nya.
.