Kaki bukit Cibalak telah berubah. Alamnya dilindas beton, kendaraan masa lampau berganti kendaraan bermotor. Tenaga manusia digantikan mesin. Beberapa wilayah telah menjadi jalan raya.
Sampai di Yogya bersama Mbok Ralem, berbekal surat keterangan miskin dari desa, mereka masuk rumah sakit. Diagnosa hari berikutnya mengernyitkan dahi Pambudi sebab surat miskin tak berdaya. Mbok Ralem sakit kanker dan membutuhkan dana 500.000. Ia pun mengiklankan permintaan dana sosial di harian Kalawarta berbekal uang 40.000 yang ada di sakunya.
Pak Dirga dan Poyo tak terima dengan apa yang dilakukan Pambudi. Karena Pambudi, ia dipanggil bupati lantaran menelantarkan warganya dan tidak membantu menyelesaikan masalahnya. Ia pun naik pitam dan menggunakan jasa orang pintar, Eyang Wira untuk mencelakakan Pambudi.
Ternyata Pambudi dan ayahnya memergoki suruhan Pak Dirga pada suatu malam. Hal ini membuat ayah Pambudi kesusahan dalam kesehariannya karena tahu anaknya sedang kontra dengan Pak Dirga.
Pambudi mengalah untuk akhirnya pindah dari desanya. Ia ke Yogya menemui teman lamanya ketika SMA, Topo yang sedang menempuh studi doktorandus. Ia pun mendapat saran untuk kuliah dari Topo. Setelah berpikir panjang, Pambudi menerima saran kawan karibnya.
Sembari menunggu tes masuk perguruan tinggi tujuh bulan berikutnya, Pambudi bekerja. Ia tanggalkan ijazah SMA dan bekerja sebagai kuli bangunan. Ia tak lama berada di sana sebab tak dapat waktu belajar di malam hari karena lelah bekerja seharian.
Akhirnya, Topo berbaik hati mengenalkan Pambudi kepada Nyonya Wibawa sebagai penjaga toko jam. Ia kenal dengan Mulyani, anak Nyonya Wibawa. Panbudi pada akhirnya sering membantu Mulyani mengerjakan TTS, mengajari Mulyani ketika akan ulangan umum.
Ketika libur kerja, Pambudi pulang ke Tanggir. Ia didakwa menggelapkab uang 125.000 milik lumbung koperasi. Tentu ia tahu ini pekerjaan Pak Dirga dan Poyo yang ingin menyongkirkannya dari Tanggir. Hampir saja ia mau mengambil jalur hukum sebelum akhirnya mempertimbangkan masak-masak perkataan ayah dan kawan karibnya.
…
Kehendak Pak Dirga memperistri Sanis sudah di ujung tanduk, disuruhnya seorang kabayan untuk melamarkan Sanis untuknya. Usahanya berhasil meskipun tidak mulus pada awalnya.
Bu Runtah merana sebab Pak Dirga akan memadunya. Ia pergi ke Eyang Wira meminta wejangan. Ia terpaksa berzina dengan Eyang Wira untuk melancarkan segala keinginannya.
Di lain sisi, Pambudi terus berkutat dengan harian Kalawarta. Ia menjadi tangan kanan Pak Barkah. Oplahnya naik, gaji karyawan naik.
Tulisannya sederhana, lugas, dan komikal. Tulisnannya menggelitik siapa pun yang membacanya. Ia tulis pula artikel tentang desa dan Tanggir. Pak Camat merasa perlu melakukan sesuatu dengan tulisan Pambudi. Dalam lubuk hatinya, ia paham bahwa Pak Dirga telah melakukan kesalahan. Anaknya menyarankan mengambil jalur hukum, tetapi Pak Camat enggan melakukannya.
Akhirnya, Pak Camat menghadap Pak Bupati dan mendapat mandat menulis bantahan terhadap tulisan Pambudi dan memecat Pak Dirga. Pemecatan Pak Dirga dilakukan dengan membuat Pak Dirga ditangkap jaksa ketika berjudi. Pak Dirga pun dipecat karena berjudi.
Pambudi menjalani hari-hari di Jogja dengan tenang. Di tahun pertama ia berada di harian kalawarta sudah menjadi tangan kanan Pak Barkah. Tahun kedua, Mulyani, anak majikan toko arloji kala itu, masuk fakultas yang sama. Tahun ketiga, Pambudi lulus.
Ketika hendak pulang ke Tanggir, kabar duka datang. Ayah Pambudi meninggal dunia. Ia pulang lebih cepat.
Di Tanggir, selepas penguburan ayahnya, Pambudi berjalan bersama Hadi, lurab baru lulusan STM dan Bambang Sumbodo, anak Pak Camat yang sudah menjadi Mantri Polisi.
Sanis datang kala itu, tetapi Pambudi hanya menyapanya dengan sederhana. Tak dinyana, Mulyani juga datang bertakziyah. Ia ingin menyampaikan maksud lain selain bertakziyah kepada Pambudi kala itu.
Pambudi memang manusia rasional. Segala halnya diukur dengan akal. Perasaan Mulyani tak ditanggapinya, meskipun pada akhirnya Pambudi mau mengantarnya ke Bandung menggantikan sopir yang mengantar Mulyani.