Hidup dipenuhi dengan rangkaian masalah. Hidup adalah rangkaian kejadian demi kejadian yang berkelindan sedemikian rupa sehingga menimbulkam harmoni. Naik turun, jungkir balik, kaya miskin, susah senang, segalanya berpasangan dengan kebalikan. Semuanya sementara, seperti tema tulisan hari ke-27, kemarin.
Hidup yang dipenuhi masalah adalah sebuah perjuangan. Ada pengorbanan di sana. Misalnya kamu ingin mendapat nilai sempurna dalam mata kuliah A, maka waktumu fokus untuk mempelajari ulang materi mata kuliah A, perhatianmu ke sana. Singkirkan sejenak komik, nongkrong nggak jelas, jalan-jalan nirfaedah, dan berbagai halangan dan gangguan menuju cita-citamu.
Itu baru contoh kecil saja, dalam hal yang lebih kompleks, misalnya ketika sudah berkeluarga, apa pun dikorbankan. Kesenangan pribadi, me time, ego, keinginan tak berkesudahan ke dalam kepentingan bersama yang manfaatnya lebih luas dan jangka panjang. Ini lumrah adanya. Dalam hal lain pun istilah berkorban sudah menjadi alasan ketika kekecewaan merajai diri.
Namun, apakah berkorban yang berkah dan tidak menimbulkan kekecewaan, bahkan menghadirkan ketenangan hati? Tentu saja ada. Dalam Islam, berkorban sangat disukai. Ibadah kepada Allah dalam berbagai bentuknya adalah suatu bentuk pengorbanan tiada terkira. Pahala yang dijanjikan di akhirat adalah iming-iming sempurna. Meskipun kenyatannya masih banyak yang terlena dan tak sadar akan kekhilafan kepada Sang Pencipta.
Ada juga "qurban" yang dalam beberapa hari lagi akan dilaksanakan oleh umat Islam seluruh dunia. Ibadah yang terinspirasi dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail kala menerima perintah Allah. Ismail rela untuk disembelih, bahkan kerelaannya disembelih oleh ayahnya sendiri karena perintah Allah tersebut dan menyatakan semoga Ibrahim mendapati Ismail sebagai golongan orang yang sabar.
Padahal, Nabi Ibrahim sudah sangat memimpikan seorang anak sejak lama. Ternyata ketika anak itu lahir, datang perintah Allah untuk menyembelihnya. Betapa pengorbanan yang begitu besar dari seorang anak. Juga seorang ayah kepada Allah.
Pengorbanan ini juga ditampilkan oleh Bunda Hajar, ibu Nabi Ismail, istri Nabi Ibrahim. Beliau rela tinggal di padang pasir gersang, tanpa tanaman dan air di tanah Haram. Allah menunjukkan keajaibannya sebagai timbal balik dari segala pengorbanan satu keluarga yang hingga kini dan masa depan akan selalu menjadi teladan.
Bahkan, pada salah satu ayat-Nya, Allah berfirman yang bermakna barang siapa yang berjihad (berkorban) di jalan Kami, maka kami akan beri hidayah (petunjuk, kemudahan) kepada jalan Kami. Begitulah janji Allah. Tatkala hamba mau berkorban demi melaksanakan perintah Allah dan mencari rida-Nya, maka kemudahan ada di depan mata.
Hadirnya keimanan terhadap segala perintah-Nyalah yang menjadikan segala pengorbanan hamba menjadi obat bagi orang yang merindukan ketenangan hati. Meskipun hasilnya sedikit danntak sesuai harapan, orang beriman akan selalu berprasangka baik kepada Allah. Tanpa hadirnya iman, sesungguhnya segala pengorbanan, apa pun bentuknya, di mana pun tempatnya, karena apa pun sebabnya, hanya akan melahirkan kelelahan, kecapekan tiada terkira walaupun secara lahiriah ia memperoleh hasil yang sudah jauh melebihi keinginan dirinya.
Dari sini, kita belajar bahwa berkorban, terutama dalam hal agama akan selalu menghadirkan ketenangan hati yang tak diperoleh melalui pengorbanan di tempat lainnya.