Menjalani kehidupan rumah tangga tentu saja menjadi impian semua orang. Terlebih menjadikan rumah tangga tersebut adalah representasi rumah tangga surgawi, rumah tangga yang damai, penuh ketaatan kepada Pencipta. Tentunya hal itu tak dilalui dengan instan. Ada proses panjang. Ada pemahaman, ada penerimaan, ada rasa mengalah yang terkadang perlu dikedepankan daripada memperuncing masalah yang hadir tiba-tiba.
Suatu hari, Sang ibu bercerita kepada anak lelakinya yang sebentar lagi akan mempersunting seorang gadis pujaan hatinya. Ibu bercerita bahwa sang ayah, suaminya semakin hari semakin sibuk saja. Kesibukan yang ada rasanya mengurangi jatah waktu untuk keluarga. Sebenarnya hal semacam itu sudah dirasakan ibu cukup lama. Terlebih setelah anugerah anak ketiga di rumah baru yang sudah ditempati hampir lima belas tahun itu.
Sang ayah semakin jarang di rumah. Pagi kerja, pulang kerja magrib. Malam hari masih ditambah dengan pertemuan dengan kolega satu organisasi kemasyarakatan. Pulang rapat sudah hampir tengah malam. Pulang badan capek dan langsung istirahat. Belum lagi kalau ada tugas luar kota. Sang ibu bisa ditinggal satu, dua, tiga, bahkan hampir seminggu.
Sebenarnya dalam hati terdalam, ibu ingin sekali menemani suaminya ke mana pergi. Ibu juga ingin menjelajahi indahnya Sumatra dengan pesona alamnya. Ibu juga ingin melihat sendiri pemandangan wisata di daerah timur Indonesia. Sang Ibu mengaku, entah kapan terakhir kali ia diajak suaminya untuk berwisata, terutama wisata ke tempat yang sedikit jauh dari tempat tinggalnya saat ini.
Tetapi, meski terkadang suara hatinya tak mendapat tanggapan yang baik dari suami, sang ibu mengaku lebih memilih untuk mengalah saja. Sebab terkadang bila hadir satu masalah dan coba ditanggapi oleh sang Ibu, suaminya lebih sering naik pitam daripada berpikir jernih untuk mencari solusi bersama. Kata ibu, di situlah seninya berumah tangga. Harus ada yang mengalah. Kalau semuanya mau memenangkan egonya, sepertinya rumah tangga tak akan sepi dari permusuhan. Rumah tidak lagi menjadi representasi surga dunia, sebaliknya ia menjadi layaknya neraka yang siapa pun enggan berada di dalamnya.
Maka pesan sang ibu pada anak lelakinya, bila nanti kau telah menikah, perhatikan keinginan istrimu. Istrimu butuh perhatian. Ia butuh sentuhan hangatmu. Ia butuh hiburan meski sesekali. Ajak ia menjelajah negeri ini. Bila tidak memungkinkan, ajak ia berbincang selepas kerja di sore atau malam hari. Dengarkan keluhannya selama seharian di rumah. Wanita selalu suka didengarkan. Ketahui keinginan-keinginannya. Bukankah kau dulu pernah berjanji untuk menggapai mimpi bersama? Tidak hanya mimpimu. Kalau mimpimu tercapai dan mimpinya tidak, itu namanya egomu terlalu menguasai diri. Cobalah untuk meluangkan waktu sekian jam dalam sehari atau sediakan hari khusus untuk menemaninya pergi belanja misalkan, atau pergi ke salon. Ibu rasa hal semacam itu akan membuat rasa cinta di antara kalian berdua akan semakin tumbuh bersemi.
Nak, itulah mengapa Islam menganjurkan supaya lelaki diminta mencari pendamping hidup yang sekufu', sepadan. Sepadan pemikirannya, sepadan pendidikannya, sepadan ekonominya. Sebab, dengan kesepadanan yang ada diharapkan akan lebih mudah beradaptasi. Di sana diharapkan tidak banyak ditemukan ketimpangan-ketimpangan yang bisa jadi menjadi bom waktu bila tidak disikapi dengan bijak sedari awal.
Lantas sang anak berjanji untuk menjalankan nasihat sang ibu. Sang ibu senang mendengarnya. Akhirnya, semoga rumah tangga yang akan dan sedang dijalani dapat mengambil sedikit hikmah dari tulisan ini.
Bojonegoro, 5 Juli 2018
12:46