Jawabannya bisa dilihat dari celoteh mereka di sosial media. Bisa juga dilihat pada papan tulis sepulang sekolah. Makian dan cacian tertulis di sana. Kata-kata kotor tak terhindarkan. Sebenarnya apa yang benar-benar terjadi?
Sehari setelahnya, hal itu dikonfirmasi oleh bagian kurikulum sekolah. Sebagaimana yang dinyatakan kemarin bahwa sekolah menyarankan siswa untuk mengambil peminatan pada mata pelajaran dengan nilai yang melewati ambang batas, atau bahkan yang terbaik. Lantas, bagaimana nasib mereka yang tetap kukuh menginginkan suatu mata pelajaran peminatan meskipun nilai tidak melewati ambang batas?
Dijawab oleh bagian kurikulum bahwa hal semacam itu disiasati dengan membuat surat pernyataan yang berisi kesediaan siswa untuk memaksimalkan diri pada peminatan yang mereka pilih. Risiko nantinya bila mereka tidak mampu, maka akan ditanggung oleh siswa. Begitulah perjanjiannya.
Yang saya mau tegaskan bahwa selalu ada iktikad baik dari sekolah ketika membuat suatu peraturan. Di luar semua itu, sekolah pun tak boleh semena-mena mengharuskan siswa mengikuti ambisinya. Harus ada jalan tengah, diskusi, asas kekeluargaan, dan keadilan sehingga sekolah dan siswa sama-sama diuntungkan. Istilah kerennya keduanya harus menghasilkan win-win solution atau simbiosis mutualisme.
Terkait respon siswa terhadap kebijakan madrasah, hendaknya siswa bisa lebih tenang, tidak grasa-grusu, dan menyikapinya dengan menutup diri dari semua kemungkinan yang bisa saja benar adanya. Jangan tanggapi kebijakan dengan asumsi yang keliru, apalagi asumsi kebencian dan pemberontakan. Hal semacam itu tak baik bila dibiasakan. Terlabih bila sudah berbaur dengan masyarakat nanti. Kita harus pintar mengatur emosi, menjaga perilaku agar segala yang terjadi tak merugikan siapa pun.