Kala kecewa menjadi raja, saat itulah segala kebaikan yang ada menjadi sirna.
Kala kecewa hadir menjadi tuan rumah, maka tak lagi mampu tampak kebenaran di sempitnya celah.
Begitulah manusia. Kecewa sering kali membutakan mata, otak, juga hati. Sakit hatinya tak mudah diobati. Tak semudah mengobati penyakit fisik.
Aku tersentak ketika kuminta bantuan padamu, kau tak menggubris. Tidak membisu, tetapi kata-katamu seolah makian dan cacian yang entah kautujukan pada siapa.
Aku memang tak tahu benar apa masalahmu. Aku tak tahu bagaimana kaumelewatinya. Tetapi, kukira kau harus mampu mengendalikan dirimu sendiri. Jangan mau kalah oleh ego yang merusak akal sehatmu.
Keikhlasan dalam bekerja dan beramal memang berat. Terlampau banyak cobaan dan rintangan. Kau harus banyak melatih keikhlasan agar hadir dalam hati, bukan dalam ucapan.
Kecewa itu wajar saja sebenarnya. Ketidakwajaran ada pad sikapmu yang terlampau dikuasai oleh nafsu amarah. Lalu, padaku kautumpahkan segalanya.
Aku hanya menanggapi dengan diam. Membatin dalam hati, “baiklah kalau tak mau, kukerjakan sendiri saja. Aku hanya tak mau amanah ini lewat dan aku menjadi pengkhianat”.