Entah mengapa, saya merasa semakin dewasa kok makin sulit menyatakan kebenaran ya. Ada banyak pertimbangan. Pertimbangan omongan orang, pertimbangan tidak mengenakkan hati orang, pertimbangan dijauhi teman, dan berbagai pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Pertimbangan tersebut melibatkan hati dan akal. Kadang akal berkata iya, hatinya menolak. Pun sebaliknya, tatkala hati berkata oke, akal tiba-tiba menyangkalnya. Ah, kenapa jadi makin rumit saja kehidupan ini.
Tumbuh dewasa seiring bertambahnya usia akan menghadirkan ragam masalah dalam hidup. Mungkin pada usia 20-an, kita semakin banyak beban pikiran. Pikiran mau lanjut kuliah atau kerja, pikiran lanjut kuliah magister atau bekerja, atau malah menikah saja.
Belum lagi ditambah masalah yang tiba-tiba muncul seperti kadang mimpi tak sejalan dengan keinginan orang tua, ketika telah menikah bingung mengatur waktu kapan harus di rumah orang tua dan kapan harus di rumah mertua atau rumah sendiri. Pekerjaan yang stuck di situ-situ saja. Tak ada perkembangan sama sekali. Lingkaran pertemanan yang kian sempit dari hari ke hari.
Berterus terang pada akhirnya menjadi hal yang semakin sulit ditemukan. Entah karena malu mengungkapkannya ataupun tak mau berujung kecewa ketika selesai diungkapkan. Contoh dalam masalah percintaan. Kamu sudah cukup yakin dengan seseorang, kamu di sini laki-laki ya. Setelah cukup mengenalnya dari orang tua, teman, tetangga, kamu yakin bahwa dialah orang yang selama ini dicari.
Sayang sekali kamu malu mengungkapkan perasaanmu padanya. Setidaknya biarkan dia tahu bahwa kamu ada untuknya. Lebih jauh mungkin kamu bisa mengenalkan kepada orang tuamu, atau bahkan melamarnya. Semua kandas di tengah jalan karena keegoisan diri dan malu menyampaikan maksud, padahal kalau disampaikan sejujurnya, itu jauh lebih baik dan menenangkan, meskipun berujung penolakan pada akhirnya.
Cerita lainnya misalnya ketika sudah menikah, kamu memutuskan untuk tinggal di rumah mertua. Jarak rumah mertua dengan orang tua tidak terlalu jauh. Kamu harus lebih banyak menghabiskan waktu di rumah mertua. Di sini, orang tua sering berpesan, sering-seringlah main ke rumah. Nyatanya kita semakin jarang ke rumah orang tua, tetapi tak berani menyampaikan alasan sesungguhnya. Kita disergap kekhawatiran tak berujung. Merasa bersalah, tetapi tak mengakui kesalahan.
Sebenarnya obatnya mudah. Nyatakan saja dengan terus terang berkata bahwa ada urusan ini dan itu sehingga tidak bisa sering berkunjung ke rumah orang tua. Bahwa kita ingin kebaikan bersama karena beberapa waktu mendengar kabar kalau sebaiknya tak saling berkunjung karena kondisi masih belum memungkinkan. Sesederhana itu sesungguhnya.
Sayangnya, kita terlalu egois. Kita terlalu apatis. Menganggap semuanya baik-baik saja, saling diam, tak mau bertukar kabar dan bertegur sapa. Kita dihantui perasaan takut mengecewakan orang, padahal itu semua bisa ditepis dengan meminta maaf dan berjanji akan berterus terang pada masa mendatang.
Kita terlalu overthingking terhadap masalah yang ada. Semuanya bisa diselesaikan asal ada komunikasi yang sehat. Kalau masih susah, barang kali bisa mengambil opsi memakai pihak ketiga yang dipercaya untuk menjelaskan masalahnya. Duduk bersama, berbincang mencari solusi agar tak ada lagi yang ditutup-tutupi dan tiada lagi hati yang tersakiti.
Teruntuk kita semua yang masih terus menyembunyikan hal-hal sebenarnya, mari belajar untuk mulai menurunkan ego, menaikkan level maaf, meninggikan rasa hormat, dan membuang jauh-jauh rasa tak enak ketika tak mengungkapkan yang sesungguhnya. Tentunya semua harus dilakukan sesuai norma yang berlaku, elegan, dan tidak menabrak batasan-batasan yang telah disepakati bersama.
Kanor, 16 Oktober 2020
#penulismuda #kejujuran #penulisbuku #penulisan2u #lingkarpenulis #penulispemula #penuliskalem #menjadipenulis #jujurlebihbaik #beranijijurhebat #penulisan #terusterang #penulismudaindonesia #16102020 #1minggu1cerita #1m1c #problemremaja #penulisamatir #parapenulisfrontal