أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? (QS. Al-Ankabut: 2).
Apa yang terdetik dalam jiwa tatkala Allah berfirman seperti ayat di atas? Sadarkah kita bahwa Allah akan senantiasa menguji kita. Ia tak akan membiarkan kita yang mengaku beriman hanya dengan kata-kata tanpa pembuktian nyata.
Hal ini sejalan dengan sebuah hadis yang artinya :
“Manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi kemudian orang-orang sholih, kemudian yang seperti mereka lalu yang seperti mereka, seseorang akan diuji sesuai dengan kadar diennya, jika dalam diennya ada keteguhan maka ujiannya ditambah”. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad 1/172, At-Tirmidzi no.2398 dalam As-Sunan dari jalan Mus’ab bin Sa’ad)
Senada pula dengan firman Allah pada surat dan ayat yang lainnya sebagai berikut,
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Artinya:
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar. (QS. Ali ‘Imran: 142)
Sebagian kita mungkin berpikir bahwa sudah cukup dengan ucapan “saya beriman kepada Allah, tahu rukun iman, cukup sudah”. Sungguh, hal semacam itu tidak cukup bagi Allah. Untuk menguji kesetiaan iman, maka Allah menguji hamba-Nya.
Maka, Allah akan menguji kita sesuai kadar iman dalam dada. Semakin besar kadarnya, semakin tinggi pula ujiannya. Allah tidak akan membebani seorang hamba sesuatu yang berada di luar batas kemampuannya. Allah juga telah menyiapkan pahala yang besar bagi mereka yang mampu melewati segala ujian keimanan ini. Sekarang tergantung kepada kita sebagai hamba, akankah kita memilih sebagai hamba yang sabar dan tangguh dalam menghadapi ujian tersebut atau sebaliknya.