Adinda, pagi ini kembali kupandang foto-fotomu. Wajahmu begitu meneduhkan. Sedap dipandang. Entah mengapa, memandangmu meski hanya foto yang ada itu sudah cukup mengobati rinduku padamu. Kalau sudah begitu, mana mungkin aku mengkhianatimu.
Adinda, bila kuingat senyum indahmu kala bertemu. Senyum itu tulus, tak dibuat-buat, otentik. Kalau sudah seperti itu, bagaimana bisa aku mengkhianatimu.
Adinda, bila kubaca syahdu tulisanmu, diriku berdecak kagum. Gaya tulisanmu selalu dirindukan. Sebagai sarjana sastra Indonesia, kapasitasmu tak kuragukan lagi. Kalau sudah begitu, bagaimana mungkin aku bisa mengkhianatimu.
Adinda, bila kuperhatikan elok perangaimu, aku menjadi malu sendiri. Aku suka kamu tak keluar rumah kecuali untuk hal yang penting saja. Aku suka interaksimu dengan teman-temanmu. Kalau sudah begitu, mana mungkin aku mengkhianatimu.
Adinda, bila kutahu tulus sapamu, juga lembut suaramu. Kemarahanmu pada hal-hal yang tak semestinya membuatku kembali takjub akan keteguhan sikapmu. Kalau sudah seperti itu, bagaimana aku mengkhianati calon ibu dari anak-anakku nanti.
Adinda, ini bukan prosa tentang perendahan diri. Ini juga bukan tulisan tentang mengagungkan seseorang di atas segalanya. Semua ini hanya satu buah kesyukuranku yang kesekian kalinya sebab telah menemukanmu, atau lebih tepatnya dipertemukan oleh-Nya denganmu. Robbanaa maa kholaqta haadza baathila, subhaanaka faqinaa 'azaaban naari.
Malang, 9 Mei 2018