Bila kuingat Malang, aku ingat pertama kalinya datang ke tempat ini. Bukan sebagai perantau seperti saat ini, hanya singgah sejenak untuk salat dan berbelanja sebab tujuan kala itu adalah rekreasi. Hal itu terjadi dua belas tahun lalu. Pernah pula, aku pergi ke kota ini untuk berkompetisi keagamaan dalam rangka hari ulang tahun salah satu madrasah ibtidaiyah kala itu. Semuanya masih kuingat dengan jelas.
Perlahan, waktu kembali membawaku ke tempat ini. Menjadi perantau sejak sembilan tahun silam. Aku mendaftar ke sebuah madrasah aliyah bonafit di kota ini. Bersaing memperebutkan kursi agar bisa duduk di antara deret bangku, di kelas yang cukup mewah. Bekalku hanya bank soal dari salah satu lembaga bimbingan belajar semasa SMP. Beruntung saya diterima di sekolah tempat saya bekerja saat ini.
Pertama kali masuk sekolah masa MA, aku duduk di kelas akselerasi. Satu minggu aku berada di sana. Bergumul bersama orang-orang cerdas dari berbagai belahan negeri. Ada siswa yang datang pagi-pagi, menarik satu kursi ke bagian paling belakang dari ruang kelas. Ia akan membuka buku Fisika, mempelajarinya dengan khusyuk. Ada pula siswi yang serta merta mengajak berkenalan diriku. Sempat kikuk awalnya. Mengapa? Sebab tiga tahun SMP, aku tak pernah sekelas dengan siswi. Seluruhnya siswa. Ada pula yang dengan cekatan menjawab soal matematika yang diberikan salah seorang guru yang ketepatan tidak hadir sebab rapat. Aku hanya terdiam di bangkuku, memperhatikan polah tingkah teman-teman jeniusku kala itu.
Seminggu berlalu, aku mengikuti tes masuk kelas keagamaan. Ditanyai seputar bahasa Arab dan materi keislaman oleh beberapa ustaz yang nantinya juga akan mengajar diriku di kelas keagamaan. Aku menjawab dengan baik dan lancar. Bersyukur aku diterima di kelas keagamaan. Sedangkan teman kelas akselerasi lain, ada yang bertahan, ada yang pindah ke kelas olimpiade, ada yang pindah ke kelas bilingual, ada yang pindah ke kelas reguler.
Tiga tahun berlalu begitu saja dengan penuh suka dan duka yang dirasa. Malang masih terus memanjakanku dengan hawa dinginnya sepanjang waktu. Aku melanjutkan pendidikan di kampus Islam negeri di Kota Sejuta Rindu ini. Aku mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Arab. Kuikuti berbagai kompetisi dan organisasi. Mulai organisasi intra, ekstra, sosial masyarakat, sampai daerah. Empat tahun memberiku banyak pengalaman yang cukup. Juga ilmu yang semoga bermanfaat di masa depan. Sudah tujuh tahun aku hidup di kota ini. Segala seluk beluknya menghiasi diri. Bahasa, cara bergaul, makanan, minuman, gaya berpakaian, juga tentang budaya dan keilmuan yang semakin bertambah dari hari ke hari.
Dua tahun berikutnya aku lanjutkan pada jenjang magister di jurusan yang sama dengan jenjang sarjana. Sembari kuliah magister, aku bekerja di tempat dulu aku pernah bersekolah semasa menengah atas.
Sekitar dua bulan lalu, Malang kembali menghadirkan kisah yang sangat bahagia. Tertemukan dengan belahan jiwa, penyempurna agama yang akan membersamai sampai ke Surga. Kuasa-Nya bekerja di atas kuasa hamba. Hamba hanya berusaha, berdoa, lantas bertawakal. Takdir-Nya tak tertebak oleh nalar. Pada jarak sekian ratus kilometer itu, aku dan kamu dipertemukan oleh-Nya.
Aku pun berterima kasih pada ayah yang ternyata sudah lebih dahulu memperkenankan diri untuk mengenalnya. Aku pun ingin berterima kasih kepada facebook dan whatsapp yang telah memudahkan diri untuk mengenal penyempurna agama itu lebih jauh, lebih dalam. Proses perkenalan yang cukup singkat, tak bertele-tele, langsung bertemu dua keluarga besar, rencana khitbah, juga rencana akad dan resepsi menghiasi hari-hari indah. Bersama tugas akhir yang tentu saja harus segera selesai seiring tenggat pembayaran uang semester di kampus yang tak lagi mendapat subsidi beasiswa.
Sebulan lalu, kau injakkan kaki di Kota Hujan Kedua. Menemuiku katamu. Aku bahagia. Sangat. Aku tidak berbohong. Di kala diri baru saja usai menunaikan satu tahap menuju gelar yang didamba, kau hadir melengkapi bahagia. Terima kasih tak terhingga dariku untukmu, Adindaku.
Bila kuingat hari itu, senyumku tak pernah usai. Warna bajumu, senyum manismu, pesona yang terpancar dari dalam diri, akhlak yang terjaga, ucapan yang tertata, semuanya benar-benar nyata. Tak ada ilusi di antaranya.
Namun, rindu itu harus tertuntaskan segera sebab esok kau harus kembali pada aktivitasmu. Menyapa bintang-bintang itu dengan curahan ilmu dan sapa senyummu. Mungkin juga celoteh yang menghiasi di sana-sini. Kuantarkan dirimu sampai pintu terminal Arjosari. Tempat di mana aku juga biasa menuju ketika akan pulang ke kampung halaman. Mungkin terminal memang tercipta sebagai representasi pertemuan dan perpisahan sepanjang waktu. Ada pilu dan bahagia yang bergantian tertangkap oleh kedua lensa mata.
Kemarin, aku melangkah kembali di atas bekas langkah-langkah kaki kita berdua. Menyusuri setiap detik yang berlalu dengan begitu cepat. Rasanya Deja Vu mengintai diri. Kembali kuingat sekian minggu lalu, kita di sana mengurai rindu tebal yang seakan tertemukan obatnya. Kembali kulangkahkan kaki, memandang langit, sesekali menoleh ke belakang, untuk memastikan bahwa segala memori itu masih hangat tersimpan.
Ah, Malang selalu begitu. Kota kedua ini sudah membiusku dengan berbagai kisah yang terpilin indah. Sepertinya masa depan di kota ini akan cerah. Semoga saja. Setidaknya itu yang kuharapkan. Akan kita habiskan beberapa waktu kembali menikmati masa indah di kota yang pernah sama-sama kita tinggali beberapa waktu lalu. Sebelum akhirnya, kita akan kembali membangun kampung halaman dengan bekal ilmu dan pengalaman yang ada. Menikmati rindu yang senantiasa hadir di antara sela tugas dan tanggung jawab yang bertahta. Menyemai benih kasih yang terus berbuih tak kenal waktu. Membesarkan zuriah saleh dan salehah. Mendidiknya menjadi penyejuk mata dan pemimpin negeri ini.
---------------------------------------------------
Setidaknya melalui tulisan ini, semua memori itu terabadikan. Meski tidak terceritakan dengan detail seluruhnya, semoga mampu menjadi obat rindu di kala waktu yang terus melaju. Bacalah kembali kisah yang terangkai indah dalam baris aksara kita berdua. Kau akan rasakan bahwa energi yang ada di dalamnya benar-benar mampu menyiratkan sebuah harap dan pinta yang tersenandungkan selalu. Kepada-Nya. Pada huruf-huruf itu terlumuri oleh tinta cinta tulus dari lubuk. Bukan cinta penuh kepura-puraan. Suci, murni, berharap abadi sampai kapan pun.
Kota Sejuta Rindu, 24 Mei 2018