Deja vu, ya aku pernah deja vu. Seringkali aku terjebak pada peristiwa dimana kita pernah bertemu di tempat ini atau tatkala aku berada di suatu keadaan, aku selalu bisa mengenangmu. Keadaan yang membuatku selalu bisa mengingat kisah indah kita yang sayangnya sekarang memang hanya tinggal kenangan. Ingatkah kau bahwa kita pernah begitu hebat saling percaya satu sama lain? Aku bahkan berjanji pada diriku sendiri untuk
selalu berada di garda terdepan dalam menjagamu meski aku tahu aku bukan siapa-siapamu dalam kehidupanmu. Tapi bukankah kita dapat bahu-membahu menjaga perasaan yang telah lama terbangun tidak hanya atas dasar nafsu.
Kadang aku termenung lama di dalam ruangan sempit berharap memori-memori masa lalu tentang kita dapat kembali tercipta dalam nyata. Tapi, lagi-lagi semua itu percuma. Sebab hanya aku yang mau namun kulihat kau tak pernah setuju akan hal itu. Seringkali déjà vu itu membunuhku perlahan. Bukan membunuh secara fisik, namun membunuh perasaan yang telah tumbuh begitu subur di dasar hati. Satu sisi aku ingin bertanya kenapa kau begitu tega meninggalkanku begitu saja tanpa memberi kejelasan atas semua yang telah kita jalani sejauh ini. Tapi diriku pun mengaku salah, mungkin aku terlalu banyak berharap pada seseorang yang sebenarnya tak pernah membuka hatinya padaku. Baiklah aku maklumi itu semua.
Aku dengan sengaja mendatangi tempat-tempat lama. Tempat dimana kita pernah datangi bersama, berharap kisah kita bisa kembali terajut entah kisah seorang teman yang tiba-tiba jatuh cinta satu sama lain, atau kisah dua insan yang dahulu pernah berjanji bersama lalu kini memutuskan untuk jalan sendiri-sendiri. Aku berharap de javuku atas pertemuan kita dapat hadir setiap saat sampai aku tertidur, atau bahkan hadir kembali dalam mimpi-mimpi malam sepiku sekadar untuk mengenang atas apa yang telah terjadi namun sekarang serasa sirna dan tak lagi memiliki arti.
M. Amin | 23 Jan 2017