Saya sedikit kaget ketika mendengar bahwa tahun ini UIN Maliki Malang tidak mengirim mahasiswa PKLI nya ke negeri gajah putih. Saya sendiri tahun lalu menjadi delegasi mahasiswa PKLI bersama sekitar 50 orang dari fakultas yang sama, FITK. Menurut penuturan teman-teman adik kelas PBA dan ICP, mereka tahun ini hanya dikirim PKLI ke Malaysia. Itu pun mereka hanya dalam selang waktu 2 minggu. Selain itu biaya transportasi, penginapan, makan katanya ditanggung sendiri. Jujur saja, saya miris mendengar hal itu. Betapa tidak, setelah sukses mengirim mahasiswa sebanyak itu kenapa harus diberhentikan tahun ini. Ini pasti ada yang kurang beres. Saya sendiri mencoba menganalisis alasan kampus tidak mengirim mahasiswa PKLI ke Thailand.
1. Ketika saya bersama 50 teman saya berangkat tahun lalu, memang ada sedikit kendala, yaitu rencananya 2 bulan, tetapi karena terhalang tak punya visa, maka mau tak mau kami hanya tinggal di Thailand selama 1 bulan. Ada pula rencana mau 2 bulan dengan cara ketika sampai 1 bulan pertama, kita semua berlibur sebentar di Malaysia untuk kemudian kembali lagi ke Thailand, dengan begitu kita bisa mendapat bebas visa selama sebulan lagi. Tetapi semuanya gagal total. Berarti masalah pertama mungkin adalah kurangnya perencanaan yang baik dari berbagai pihak di kalangan UIN Maliki Malang dalam hal pemberangkatan mahasiswa PKLI ke luar negeri, khususnya ke Thailand. Saya sendiri coba membandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh kampus lain yang kebetulan saya bertemu dengan kawan-kawan baru disana. Sebut saja UIKA Bogor. Mereka begitu merencanakan dengan baik mengenai pemberangkatan mahasiswa PKL nya selama 3 bulan dengan visa dan lain sebagainya. Kata pihak Thailand sendiri, biasanya memang mahasiswa PKL di negeri kami ya minimal 3 bulan, bahkan ada yang 5-6 bulan. Kalau 1 bulan rasa-rasanya kurang dapat apa-apa.
2. Kurangnya komunikasi antara pihak kampus dengan sekolah-sekolah swasta Islam di Thailand Selatan. Contoh saja, kakak kelas saya, Mas Ridho yang kebetulan tahun lalu juga PKLI di Thailand dan ketepatan tahun 2016 bekerja sebagai pengajar di salah satu sekolah swasta Islam di Thailand hanya diberi gaji yang rendah dan saya kira itu kurang mengingat apa yang dilakukan Mas Ridho selama kami berada di negeri tersebut. Mas Ridho bersama kepala sekolahnya rela terbang dengan biaya sendiri dari Hat Yai ke Bangkok untuk menjemput kami lalu menemani kami naik kereta selama kurang lebih 24 jam dari Bangkok ke Chana. Jadi, mungkin persoalan kedua adalah masalah komunikasi yang kurang baik antara kedua belah pihak.
3. Tidak adanya regenerasi atau semacam seminar yang mengulas kekurangan dan kelebihan dari apa yang telah kami dapatkan disana. Kata fakultas sih akan diagendakan, tetapi sampai kami lulus pun hal itu menjadi hal utopis dan tak pernah menjadi nyata. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh UIKA Bogor yang mana mereka begitu mengawal PKL luar negeri. Jadi, alumni PKL luar negeri tahun 2016 membimbing dan terus mengarahkan adik-adik kelasnya sampai adik kelasnya tersebut berangkat ke Thailand sehingga tentunya diharapkan adik kelas tersebut sudah siap segala-galanya untuk bertahan hidup selama 3 bulan di Thailand.
4. Tidak adanya standar yang jelas mengenai siapa yang dapat berangkat ke Thailand tersebut. Yang saya amati adalah kampus terkesan mengutamakan siapa saja yang punya "uang" bukan mereka yang punya "kemampuan" mengajar dan juga bahasa untuk dapat lolos seleksi. Hal ini jauh berbeda dengan kampus UM yang tahun ini baru pertama kali bekerjasama dengan Thailand membuat akun instagram yang berisi calon PKL Thailand dimana di dalamnya calon tersebut memiliki berbagai kualifikasi yang mumpuni, mereka adalah para aktivis kampus, calon mawapres, jurnalis, dsb. Sehingga diharapkan ketika terjun mengajar di Thailand benar-benar mengaplikasikan apa yang dimilikinya dan tidak terkesan main-main dan sekadar ajang "jalan-jalan dan pamer" belaka.
5. Saya masih ingat ketika hari terakhir di Thailand, saya berkesempatan berkunjung ke salah satu rumah guru Solihuddin School di Natawi. Beliau membentangkan peta Thailand kepada kami dan kami pun tertawa ketika mengetahui betapa "bodohnya" kami ketika harus terbang dari Indonesia ke Bangkok lalu menuju Chana dengan kereta api. Padahal kalau mau kami bisa saja memilih jalur darat dari Malang ke Jogja, lalu naik pesawat Jogja Hat Yai dan bisa langsung sampai di Chana dalam waktu singkat. Atau juga kami bisa lewat jalur Surabaya Malaysia kemudian dilanjutkan naik bus tingkat selama kurang lebih 8 jam menuju Chana dengan biaya yang terjangkau. Ah, tetapi tidak mengapa, setidaknya dengan singgah sehari semalam di Bangkok, kami tahu pola kehidupan ibu kota negara gajah putih tersebut dan juga kami sempat tahu Raja Mangala Stadium tempat pertandingan final AFF Thailand Indonesia beberapa waktu lalu. Jadi, intinya harus pintar-pintar memilih jalur untuk menuju tempat PKLI yang paling efisien dan hemat uang.
Mungkin itu 5 faktor yang menyebabkan kampus tidak mengirim lagi mahasiswanya untuk PKLI ke Thailand. Ketika saya tahu bahwa UIKA dan UMM sudah mengirim mahasiswanya ke Solihuddin School, Chana, Thailand Selatan, saya coba bertanya kepada Ustadz Syukur dan kata beliau bahwa saat ini perwakilan sekolah swasta Islam sedang menjalin kerjasama dengan kampus di Malang raya, mulai UM, UIN, UMM untuk bisa mengirimkan mahasiswanya PKL atau agenda lainnya. Saya pun dikirimi foto bahwa perwakilan sekolah swasta Thailand berbincang hangat dengan rektor UIN Maliki Malang dan saya kira di tahun 2018 nanti akan dkirim kembali mahasiswa UIN Maliki yang PKL ke Thailand. Ya, semoga saja itu terealisasi, syukur-syukur kalau kampus mau memberi uang saku atau apa lah namanya bagi mahasiswa yang berangkat ke Thailand atau negara lainnya.
Salam damai.