Pernah enggak sih kita berpikir sering kali kita dibutakan oleh kebencian kepada seseorang. Entah dalam segi kebijakan, perilaku, atau hal lainnya. Hal-hal yang sebenarnya melekat sementara saja pada dirinya. Sewaktu-waktu hal-hal itu bisa berubah, berpindah tangan, atau hilang.
Beberapa orang membenci sampai kelewatan. Membenci bahkan sampai pribadi dan keluarganya, padahal kalau dilihat-lihat kesalahan ada pada perilakunya di masa lalu. Seolah ia tak punya lagi masa depan. Tidak hanya dia, tapi juga keluarga, anak keturunannya.
Contoh kecil saja seorang guru punya murid. Karena perilakunya yang melanggar peraturan lembaga, murid dikeluarkan dan pada akhirnya harus mencari sekolah lain yang mau menerima. Kadang ada pikiran kalau si murid tidak akan diterima di sekolah mana pun. Mengingat pelanggarannya cukup berat.
Namun, beberapa kali sang guru bertemu dengan murid tersebut dan bertanya soal apa yang dilakukan setelah dikeluarkan dari sekolah, jawabannya ia kembali bersekolah di kota asalnya, bahkan di salah satu sekolah yang favorit. Meski dilanda rasa tidak percaya, bagaimanapun sang guru akan mendoakan si murid agar sukses di masa mendatang.
Di lain kesempatan, sang guru bertemu murid lain yang juga dikeluarkan dari lembaga. Pelanggarannya juga cukup berat. Sesekali sang guru sampai mengelus dada kalau ingat pelanggaran yang dilakukan si murid. Beberapa tahun kemudian, sang guru mendapat kabar kalau si murid bisa berkuliah di kampus bonafit di ibu kota. Subhanallah. Antara kaget, bahagia, dan sedikit keraguan, sang guru tetap dengan tulus mendoakan kesuksesannya di masa depan.
Kadang, begitulah hidup berjalan. Tak ada yang tahu takdir membawa ke mana. Orang seburuk apa pun masa lalunya, tetap punya masa depan. Pun sebaliknya, sebaik apa pun orang di masa lalu, tentu ada kesilapan yang diperbuatnya. Itu sangat manusiawi.
Yang menjadi soal adalah bagaimana sebagai sesama manusia kita menyikapi hal ini. Apakah kita lantas tak percaya sama sekali dengan orang yang telah berbuat kesalahan? Apakah lantas kita tak mau lagi berteman dengannya? Ataukah kita cukup membenci perilakunya, tetapi tetap menyayangi pribadinya?
Saya jadi ingat satu nasihat yang berbunyi, “Kalau kamu menemukan seseorang yang tidak sepaham keyakinannya denganmu, setidaknya anggaplah ia sebagai saudara dalam kemanusiaan.”
Ungkapan tersebut menjustifikasi sikap seseorang yang sepatutnya membenci perilaku, tetapi bukan pribadinya. Sebab kebencian kadang melahirkan ketidakadilan, padahal firman Allah, “Dan janganlah kebencianmu kepada suatu kaum menjadikanmu berlaku tidak adil.” (QS. Al-Maidah : 8)
Maka, mari bermuhasabah sejenak. Mari kita singkirkan kebencian yang mengakar dalam diri kepada orang lain. Kita boleh saja membenci perilakunya, tapi tolong tetap berbaiklah kepada pribadinya. Sebab masa depan seseorang tak ada yang tahu. Kita hanya mampu berharap dan berdoa semoga senantiasa dilimpahi kebaikan dan kesejahteraan.
#renungansiang