Kawan, sudah berapa lama kita tak berjumpa.
Rasanya hati ini begitu rindu. Aku tak lagi tahu bagaimana keberadaanmu hari
ini. Bahagiakah kau hari ini? Atau malah kau sedang dirundung duka nestapa
sebab peristiwa yang baru saja menimpamu beberapa hari lalu?
Tidakkah kau ingat kebersamaan kita semasa
sekolah dasar dulu. Bermain ke sana-kemari dengan tanpa lelah.
Berkejar-kejaran, main ayunan, jumpat-jumpit, sepak bola, main kelereng, dan
lain-lain yang sepertinya anak masa kini tak lagi mengenalnya.
Dahulu, kita tak perlu waktu lama untuk
sekadar berkumpul. Cukup satu ajakan, maka semua akan ikut. Tapi sekarang, apa
yang terjadi? Untuk sekadar berkumpul satu tahun sekali saja kita tak lagi mau
menyempatkan hadir. Selalu saja alasan ini dan itu terlontar hingga pada
akhirnya kita tak pernah benar-benar berjumpa semenjak lulus dari sekolah.
Oh ya kawan, bagaimana kabar bapak dan ibu
guru kita ya? Tidakkah kau berkeinginan untuk mengunjunginga sesekali? Sekali
saja. Selepas Idul Fithri kemarin aku berkesempatan berkunjung ke kediaman
beliau-beliau dan mereka bertanya,
“Min, mana teman-temanmu?”
“Ya, begitulah bu, sudah sibuk
sendiri-sendiri. Ada yang menikah, ada yang sedang berkumpul bersama keluarga
besarnya. Maklum, momen Idul Fithri.”
Ya, hanya kalimat itulah yang bisa
kuucapkan setiap kali bertemu para guru, entah di rumah, jalan atau kesempatan
lainnya. Aku tak punya kata-kata yang lebih manis dari itu. Aku tak mau
membohongi diriku, juga guruku. Akhirnya, aku hanya berterus terang tentang apa
yang terjadi.
Tak segan-segan, aku ceritakan kisah-kisah
semasa sekolah dahulu. Guru-guru kita tertawa. Ah, seandainya ada dirimu
disini. Tentu kita bisa bercerita banyak hal. Tentang sekolah kita,
persahabatan kita, rencana masa depan kita, atau mungkin pernikahan kita yang
sudah dan akan dilangsungkan beberapa bulan ke depan. Sayangnya, itu hanya
seandainya. Sebuah ungkapan dalam imajinasi yang begitu utopis.
Kawan, kenapa aku masih peduli? Meski jarak
sudah terbentang puluhan bahkan ratusan kilometer, meski perpisahan sudah
menginjak tahun ke-11. Tak lain, aku hanya ingin mengenang. Mengenang masa-masa
indah kita. Mengulang keseruan masa kecil kita, meski usia telah berkepala dua.
Oleh karenanya, aku selalu menyempatkan
hadir pada momen kumpul angkatan. Bahkan, aku yang berinisiatif membuatnya.
Meski yang datang hanya satu dua orang saja, aku tetap bahagia. Sebab, akan ada
cerita-cerita baru yang akan dibagikan, ada memori-memori yang begitu lekat dan
tak mau hilang sampai kapan pun dan begitu sayang bila disimpan seorang diri.
Lalu, kapan kau akan datang? Apakah kau
menunggu undangan resepsi pernikahan salah satu teman, lantas kau baru datang,
mengucap selamat, makan, berfoto, lalu pulang? Ah, nyatanya itu tidak pernah
terjadi. Sekali lagi kau pandai berkilah. Kesibukanmu tak pernah dapat kau
kendalikan.
Kawan, dengarkan aku. Aku paham bahwa kita
sudah sama-sama dewasa. Kegiatan harian kita begitu menumpuk untuk segera
diselesaikan. Tapi, tak adakah rasa rindu bertemu kawan lama pada lubuk hati
terdalammu? Atau karena kau sudah kenal kawan-kawan baru yang lebih asyik dari
kawan lamamu ini? Lalu kau berpaling dan menganggapku tak pernah hadir dalam
hidupmu? Kuharap kau tidak seperti itu. Kalau iya, semoga kau cepat sadar ya.
Aku juga tahu bahwa kita telah sama-sama
punya amanah di tempat kita masing-masing. Ada yang sibuk kuliah, kerja,
mengejar prestasi, atau menikahi orang yang begitu dicintai. Aku sama sekali
tidak menyangsikannya. Namun, sempatkan agenda silaturrahim pada kawan lamamu
ini, juga pada guru-gurumu. Aku, juga para guru begitu mengharap kehadiranmu
meski hanya sekejap.
Ehm, aku baru ingat. Sepertinya memang
jatah masa kecil kita telah habis dimakan usia. Aku harus paham bahwa saat ini
kita telah masuk tahap remaja. Dimana masalah datang bertubi-tubi silih
berganti. Kita tak lagi mampu berpikir sesederhana masa kecil. Seperti canda
dan tawa yang selalu menghiasi hari meski pekerjaan rumah menumpuk.
Mungkin telah tiba waktunya untuk berjarak di antara kita. Supaya
ketika bertemu satu, dua, lima bahkan sepuluh tahun ke depan kerinduan ini
semakin membuncah. Bukankah nikmatnya pertemuan akan terasa tatkala jarak
semakin panjang?
Padamu yang masih termangu membaca surat dariku, kapan kita bisa
bertemu? Bercengkerama seperti dahulu. Mengulang kenangan-kenangan indah masa
lalu. Ketahuilah kawan, aku akan terus menunggu perjumpaan denganmu.
Dari kawan yang selalu merindukanmu