Jauh sebelum mengenalmu, atau lebih tepatnya dipertemukan oleh Pencipta denganmu, aku sudah berkali-kali, entah berapa kali aku lupa, mengetuk pintu-Nya terlebih dahulu. Memohon izin agar diperkenankan hadirnya satu rasa untuk selamanya. Satu rasa yang disukai dan diharap seluruh umat manusia di dunia ini. Rasa cinta dalam bingkai kehalalan yang disebut pernikahan.
Aku masih belum bergerak terlalu banyak kala itu. Aku mengusahakan yang terbaik dengan terus menambah ilmu, itulah yang bisa kulakukan. Sebab diri paham bahwa untuk menggapai kebahagiaan di dunia, juga akhirat, tak bisa lepas dari ilmu. Aku belajar ilmu agama, ekonomi, manajemen waktu, manajemen diri, psikologi, parenting, pernikahan, dan lain sebagainya.
Dulu, aku sempat menyebut nama siapa yang ingin kujadikan pendamping hidup. Tetapi, lama kelamaan aku sadar bahwa akan lebih baik berdoa meminta yang terbaik saja. Sebab, baik menurut manusia, belum tentu terbaik menurut-Nya.
Impian-impian yang tertulis dan tertata rapi. Ditemani dengan pinta yang beradu syahdu dalam pekat malam dan dini hari. Harapan-harapan indah akan masa depan bersama sang belahan hati. Senantiasa terlantun dalam doa sepanjang hari, lima kali sehari, tiada berhenti.
Tetapi, hadirmu beberapa waktu lalu, menyandera kesadaranku. Mengalihkan pusat orbit semestaku. Kompas hidup berubah arah mengikutimu. Mungkin sudah tiba waktunya saja.
Padahal asal kau tahu saja, semenjak kelulusanku dua tahun lalu, diri ini ingin mengalihkan fokus sejenak. Bukan berarti tidak memikirkan perihal jodoh dan wanita idaman. Iya, dipikirkan tapi dalam porsi yang secukupnya, tidak berlebihan. Waktuku tersita untuk mengajar di instansi tempatku bekerja, pikiranku tertambat pada tugas-tugas kuliah yang terus saja mendera. Sesekali saja aku meluangkan waktu untuk bersantai ria. Menikmati kopi yang kubuat sendiri, atau sekadar bermain ke kos teman dekat kampus.
Seiring berjalannya waktu, beberapa teman kuliah magister menikah. Hal itu lumrah adanya. Kematangan dan kesiapan mereka dalam membina rumah tangga telah ada. Aku pun menyempatkan hadir pada momen bahagia mereka. Setiap kali hadir pada acara tersebut, diri selalu bertanya, bilakah masanya tiba bagi hamba? Sebentar lagi, sekian bulan lagi, atau jangan-jangan sekian tahun lagi? Hamba tak tahu jawaban pastinya. Ia menyimpan rapat-rapat rahasia itu. Kelak, Ia akan perkenankan dan berikan jawaban terbaik.
Sesekali ada rasa iri yang menusuk hati. Seperti biasa, apalagi kalau tidak seputar pertanyaan, “kapan menyusul?, Udah ada calon belum?, Kapan mau dihalalin?”. Ya begitulah kira-kira pertanyaan yang selalu saja terlontar ketika bertemu kawan di resepsi pernikahan. Bagiku, tak perlu marah bila ditanya semacam itu. Aku sendiri selalu menjawab, “semoga tahun ini, doakan ya. Ada hal-hal yang harus diprioritaskan.”. Dengan jawaban semacam itu, aku merasa lebih tenang dan percaya diri menuju hari bahagiaku sendiri.
Memasuki tahun kedua kuliah, diriku memang kembali membuka hati. Saya mohon bantuan ayah dan ibu bila ada calon mempelai yang mungkin saja bisa saya ajak taaruf lalu menikah. Saya mengatakannya dengan kesadaran penuh, bukan mimpi belaka.
Saya paham berbagai konsekuensi yang harus ditanggung ketika memutuskan menikah muda. Perihal pekerjaan, menafkahi istri, belum lagi keinginan untuk terus mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan berbagai ekspektasi seorang pemuda yang ingin hidupnya berarti, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga sekelilingnya.
Semua itu masih terus dipersiapkan dengan perlahan namun pasti. Satu per satu keilmuan dikuasai. Sekian keterampilan dipergunakan sebagaimana mestinya. Sembari terus berdoa diberikan yang terbaik di waktu yang terbaik pula. Maka, sekali lagi jangan heran bila kesibukan itu menyita banyak waktuku. Tenang, bila kau hadir, prioritasku ada padamu.
Tetapi itu semua rencana anak Adam yang bisa saja meleset. Manusia hanya berencana, Allah pengendali segalanya. Kadang, ketika kita ingin cepat, Allah lambatkan. Ketika kita ingin memperlambat, eh, Allah datangkan dalam waktu singkat. Sama seperti pertemuanku denganmu di sela-sela menunggu jadwal seminar proposal yang semoga minggu ini akan keluar.
Ya, begitulah sekelumit kisahku jauh sebelum bertemu denganmu, ah, kurang tepat. Dipertemukan oleh Allah denganmu. Kasyukuranku tiada jemu terpanjat pada-Nya. Pinta ini semakin panjang dan khusyuk saja. Semoga tidak hanya karenamu, tetapi karena-Nya. Aku titipkan rasa cinta ini pada-Nya. Kutitipkan diriku, juga dirimu pada-Nya, sebaik-baik penjaga yang ada.
Pada jeda jumpa dua manusia
Semoga adinda selalu sehat dan bahagia
Pada pergantian pagi dan senja
Kusapa dirimu dalam doa dan karya
Kota Sejuta Rindu, 16 April 2018