Kita pernah berada pada
satu ruangan yang sama. Aku selalu bertanya-tanya dalam hati siapa pula yang
punya nama sepanjang gerbong kereta itu? Oh, rupanya ia adalah gadis cilik yang
cantik parasnya. Kacamata yang dipakainya semakin menambah rona kecantikan pada
wajahnya. Senyumnya yang begitu ramah pada setiap orang yang ditemuinya juga
mampu meluluhlantakkan dinding hatiku. Lamat-lamat kuingat, hey, bukankah kau
teman masa kecilku sewaktu masih di taman kanak-kanak dulu. Ah, dunia ini
nyatanya begitu sempit dan hari ini kita bisa berjumpa kembali.
Bila kuingat pada hari
itu dimana aku bisa begitu mudah suka pada seorang gadis mungil itu, rasanya
lucu sekali. Dengan menyukainya, semangat belajarku meluap-luap, tak mau barang
sehari pun terlambat datang ke sekolah hanya demi dapat memandangmu masuk ke
dalam kelas meski dari kejauhan. Rasanya aku mau waktu dapat melambat demi kita
yang senantiasa merindukan perjumpaan meski hanya sesaat.
Waktu itu, aku masih
terkesan main-main dengan perasaan cinta. Belum hadir kedewasaan dalam
menjalani komitmen-komitmen bersama. Aku dapat dengan mudah berpindah hati.
Pagi ini suka kamu, malam nanti aku suka dia. Ah, lagi-lagi cinta masa kecil
itu begitu lucu sehingga tak mudah untuk dilupakan begitu saja.
Saking lucunya, cinta
masa kecil itu lebih kepada banyak mimpi daripada kejadian nyata, cinta yang
sebenarnya lebih banyak bahagianya daripada goresan luka dalam jiwa. Tidak
seperti kisah-kisah romantisme remaja yang berujung sengsara karena harapan
yang percuma. Aku benci rasa cinta yang penuh dengan kepura-puraan, keinginan
rasa memiliki yang terkadang tak disertai dengan kesiapan untuk patah hati.
Untuk kisah cinta masa
kecil kita, biarlah ia jadi pelajaran berharga demi membangun cinta di
masa-masa selanjutnya dan bahwa kita pernah menyemai rasa yang sama, meski
entah sekarang kau sedang menikmatinya bersama orang yang benar-benar baru.
Tetapi selalu ingat bahwa namamu selalu tersemat dalam permohonan terbaikku
pada Tuhan agar hal-hal baik senantiasa menyertai langkah-langkah kita.
M. Amin | 24 Jan 2017