Kau pernah bercerita padaku bahwa kau takut
akan hal-hal tertentu. Aku pun berusaha sekuat tenaga untuk senantiasa
menguatkanmu, bagaimanapun keadaanmu. Kita juga pernah berbagi mimpi-mimpi masa
depan kita. Masih ingatkah kau pada rencana menulis buku bersamaku. Saat itu
kau terlihat begitu semangat sehingga membuatku semakin menggebu demi
mewujudkan hal itu. Dari percakapan di telepon kala itu, aku bisa merasakan
bahwa disana matamu bersinar-sinar dan hatimu bergejolak bahagia dibarengi
senyuman indah di wajahmu itu.
Aku pun pernah begitu
besar menaruh percaya padamu. Saat masalah datang mendera, kau selalu menjadi
pendengar yang baik. Aku tak pernah menjadikanmu kambing hitam dari semua hal
yang menimpaku, sebaliknya aku banyak berterimakasih karena saat itu kau yang senantiasa
hadir meringankan beban-beban yang menyesakkan dada. Aku pernah kau buat begitu
nyaman sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa hubungan kita tidak lebih dari
seorang teman.
Waktu terus bergulir
dengan cepat dan tak mau diputarbalikkan begitu saja. Masa terus menguji
kesetiaan kita berdua. Kita pada akhirnya semakin jarang bertatap muka,
bertukar gagasan dan ide cemerlang, bahkan pesan-pesan dariku tak pernah lagi
kau menarik hatimu. Aku tidak banyak berharap padamu. Aku hanya ingin
memastikan kau baik-baik saja meski jauh dariku atau mungkin ketika aku tak
lagi mampu merengkuh dirimu. Kulangitkan doa-doa pada Sang Maha Baik.
Senantiasa kusebut namamu di antaranya. Tidak saja kamu, tapi kita. Semoga
pengharapanku sampai kapan pun tak pernah menjadi sia-sia karena Tuhan tahu
siapa yang terus berusaha dan siapa pula yang mencoba mencederainya dengan
luka.
M. Amin | 26 Jan 2017 bakda subuh