Bahasan kali ini mungkin menjadi bahasan
yang sudah lama tidak saya sentuh. Beberapa bulan terakhir saya menemukan satu
akun menarik yaitu Indonesia Tanpa Pacaran di facebook dan Instagram. Saya coba
ikuti dan mulai tertarik dengan berbagai program yang ditawarkan. Penggagasnya
adalah La Ode Munafar. Ia menulis berbagai buku dengan judul unik dan telah
best seller melalui penerbit yang dimilikinya, Gaul Fresh.
.
Kak La Ode membeberkan bagaimana kondisi
muda-mudi saat ini. Cukup mengenaskan bila mendengarnya. Berbagai tindak
asusila terjadi dimana-mana. Hampir semuanya diawali dari yang namanya pacaran.
Pacaran tidak ada dalam kamus agama Islam. Saya sendiri kurang tahu dari mana
awal mula istilah ini muncul dan menjadi sangat populer, terutama di Indonesia.
.
Sebenarnya setiap manusia diberikan naluri
untuk mencintai lawan jenis. Namun, Islam memberikan rambu-rambu bagaimana
mengungkapkannya dengan penuh keberkahan supaya tidak merugikan kedua belah
pihak. Pintu penuh berkah tersebut adalah pernikahan. Maka, saya sendiri
melihat fenomena menikah muda menjadi tren saat ini. Bukan apa-apa, tapi
menurut saya itu lebih baik, melihat model pergaulan muda-mudi di masyarakat
yang semakin tidak terkendalikan dari hari ke hari. Saya begitu heran melihat
pasangan muda-mudi begitu mudahnya berjalan kesana-kemari tanpa rasa bersalah
dan dosa. Belum halal sudah naik gunung, ke pantai, ke pusat perbelanjaan,
tempat hiburan dsb.
.
Bukan berarti penulis tidak pernah
merasakan hal serupa. Pernah. Namun, pada akhirnya penulis sadar bahwa bahaya
di balik pacaran begitu besar dan hebat dan memutuskan untuk berhenti,
membenahi diri, mempersiapkan diri untuk gerbang suci pernikahan. Penulis tidak
mengatakan untuk cepat-cepat menikah, tetapi menyegerakan. Cepat-cepat identik
dengan hal-hal yang tanpa persiapan. Sedangkan menyegerakan berarti dibarengi
dengan usaha memperdalam keilmuan sebelum nanti mengarungi bahtera rumah
tangga. Maka, saya begitu miris melihat teman-teman, adik kelas saya masih
berkubang pada pacaran ini. Menurut Kak La Ode, tak ada istilah pacaran, baik
pacaran yang dikenal khalayak maupun pacaran setelah menikah. Memang benar kata
para ustadz bahwa memberantas kemungkaran lebih susah daripada menyebarkan
kebaikan. Memberantas kemungkaran membutuhkan usaha ekstra dan mengandung
konsekuensi cacian dan makian. Namun, penulis juga berusaha untuk melakukan
keduanya meski belum bisa secara langsung menegur, setidaknya melalui
tulisan-tulisan ini dapat menggugah hati para aktivis pacaran.
.
Lalu, apa yang kau banggakan dari pacaran?
Lebih mudah mengingat pelajaran? Ada yang mengingatkan dalam kebaikan? Ah,
semua itu omong kosong (bulshit). Yang ada malah sebaliknya. Kau semakin tidak
konsentrasi belajar, perhatianmu terpecah pada orang yang belum tentu menjadi
jodohmu di masa depan. Daripada seperti itu lebih baik kau habiskan waktu
berhargamu untuk mewujudkan cita-cita membahagiakan orang tua, menebar
kebermanfaatan pada sesama, mengajarkan ilmu agama, dsb yang berbau positif. Lalu
ada yang berkata, ah itu sulit. Memang, meninggalkan kebiasaan buruk itu butuh
perjuangan, namun selalu ingat tujuan penciptaanmu di muka bumi ini adalah
beribadah kepada-Nya sesuai dengan syariat yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an
dan hadits. Pergulatan antara nafsu dan naluri ketuhanan dalam diri akan terus
berlanjut. Tinggal kita memilih menuruti nafsu atau berani mengendalikan nafsu
tersebut dan memilih mengedepankan naluri ketuhanan dalam menjalani kehidupan
ini. Akhirnya, semoga para aktivis pacaran segera sadar sesadar-sadarnya bahwa
yang mereka lakukan begitu banyak madharat daripada manfaatnya.
Segeralah berhijrah menuju kebaikan yang digariskan Tuhan. Selagi masih ada
waktu sebelum semuanya terlambat dan yang ada hanya penyesalan.
.
@muhamin25 | 2 Juni 2017