Bulan puasa kali ini aku masih di rantau. Sedikit
sama dengan tahun lalu dimana aku sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan tugas
akhir sarjana. Bedanya kali ini aku kuliah lagi plus bekerja di tempat sekolah
dahulu. Bahagia memang, tetapi selalu saja ada yang kurang. Apalagi kalau bukan
kebersamaan bersama keluarga.
.
Aku teringat ketika masuk tahun keempat di
Malang, kuhabiskan liburan puasa di rumah sebab dua hari sebelumnya aku
mengalami kecelakaan dengan truck. Alhamdulillah masih diberi keselamatan. Aku
hanya tergolek di atas tempat tidur sambil terus berdoa agar segera diberi
kesembuhan.
.
Di tahun selanjutnya, liburan puasa awal kuhabiskan
di Malang sebab harus menjadi musyrif di ma’had kampus. Kebersamaan dengan
teman-teman mampu mengurangi sedikit rasa rindu dengan orang di rumah. Tahun
selanjutnya terasa lebih berbahagia lagi sebab sejak satu hari sebelum puasa
sampai H-1 minggu hari raya Idul Fithri berada di tempat pengabdian masyarakat.
Bersama sebelas teman dari berbagai jurusan kami berusaha memakmurkan masjid
yang cukup megah di tengah masyarakat desa yang mayoritas sudah berumur di atas
40 tahun. Tetapi yang seru adalah ketika kami harus bahu membahu memasak setiap
hari untuk mempersiapkan makan sahur dan berbuka. Bayangkan kami berdua belas
yang dipiket, bisa tidak bisa memasak, harus memasak untuk kedua belas anggota
kelompok plus Mak Ti pemilik rumah yang kami gunakan untuk menginap dan
berkoordinasi kegiatan setiap hari. Bagiku itu istimewa dan menjadi pengalaman
tak terlupakan dalam hidup.
.
Tahun ketiga kuliah, liburan puasa
mayoritas aku habiskan di ma’had kampus sebab tanggungan keisyrofan yang begitu
menumpuk. Sampai-sampai aku berpikir bahwa semakin lama tinggal di Malang, aku
semakin jatuh cinta dengan kota ini. Entah alasannya apa. Mungkin sebab terlalu
banyak kenangan yang terukir, atau sebaliknya, terlalu banyak luka yang
senantiasa mencari obat penyembuhnya melalui berbagai kejadian yang terus
berkelindan setelahnya.
.
Tahun ini, aku mencoba kembali menyelami
betapa memang kota kedua ini sudah membuatku jatuh cinta. Momen Ramadhan selalu
menyimpan kisah-kisah indah setiap tahunnya. Tahun ini saja, aku masih belum
tahu kapan akan pulang ke rumah merasakan puasa layaknya tahun-tahun sebelum
tinggal di kota ini. Yang hadir malah berbagai peristiwa lampau yang terus
berputar di kepala, tak pernah mau sedikit pun dikubur dalam-dalam. Tiba-tiba teringat
salah satu kata ustadz semasa SMP di Bojonegoro dulu, bahwa ketika kau jauh
dari orang tua, maka sesungguhnya kepulanganmu ke rumah adalah sekadar singgah
dan liburan singkat. Ketika kau kembali merantau, di situlah sesungguhnya kau
mengatakan di perantauan ini kau seharusnya berpulang.
.
Sebab semakin lama tinggal di kota kedua,
semakin dewasa kau memaknai kehidupan, semakin bijaksana kau menyikapi
perbedaan, semakin banyak ilmu yang dapat diserap dari orang-orang terhebat
yang bisa jadi tak kau temui bila sekarang masih berdiam diri di rumah. Maka,
berterimakasihlah pada orang tua yang telah mau mengikhlaskan anaknya merantau,
baik dekat maupun jauh itu tetap penuh dengan pembelajaran berharga. Serupa
dengan kata Imam Syafi’i bahwa merantaulah, maka akan kau temukan pengganti
teman-temanmu di kampung.
.
Pada akhirnya, setelah lama berada di
perantauan, aku semakin tahu arti bagaimana menghabiskan waktu ketika telah
sampai di kampung halaman. Aku juga semakin paham bahwa semakin kesini semakin
sedikit dan betapa singkatnya waktu bersama keluarga besar. Mungkin ini
tanda-tanda bahwa tahun-tahun ke depan sudah saatnya mencari pendamping hidup
agar waktu-waktu kosong di rantau bisa terisi dengan canda tawa berdua, berbagi
kisah suka cita dan duka nestapa, lalu membangun keluarga bahagia. Hingga tiba
masanya mengajak keluarga kecil kita sendiri ke dalam reuni keluarga besar dan
akhirnya tak terasa bahwa hidup begitu singkat dan tiba-tiba hadir pertanyaan
besar, “Sudah seberapa banyak bekal yang telah kau persiapkan untuk kehidupan
pasca kematian?”
@muhamin25 | 1 Juni 2017