Setelah hampir
sebulan penuh berpuasa, akhirnya diri ini berkesempatan untuk mudik juga. Bukan
apa-apa. Tidak hanya sekadar tradisi menjelang Idul Fithri, namun ada hal-hal
yang lebih esensi daripada sebuah kebiasaan tahunan. Pagi ini, usai subuh saya
langsung tancap gas menuju Bojonegoro. Setelah semalam memastikan panitia
Ramadhan dan Idul Fithri Masjid Al-Falah mempersiapkan segala sesuatunya
menyambut hari yang fithri.
.
Sepanjang
perjalanan, saya tidak henti-hentinya berdoa, berdzikir kepada Allah SWT.
Jangan kita gunakan sepanjang perjalanan dengan canda tawa tiada arti. Apalagi
ini masih bulan Ramadhan. Jangan pula kita gunakan pada hal-hal yang kurang
bermanfaat. Ketika sampai di sekitar Kasembon, kabut tebal menyelimuti
perjalanan. Kabut tersebut tidak hanya air jernih, tetapi telah bercampur
dengan gas emisi yang membuat jarak pandang saya terhalang sekian meter ke
depan. Saya harus ekstra hati-hati. Untung saja, kabut itu hanya menyelimuti
sepanjang kurang lebih 1 kilometer. Jalanan Jombang sudah cukup ramai, terutama
di pusat-pusat perbelanjaan seperti pasar tumpah dan sejenisnya. Ketika sampai
Bojonegoro pun, daerah Baureno dan Sumberejo juga penuh sesak dan macet.
Alhamdulillah, Bojonegoro kembali ramai sebab para perantaunya dapat kembali
pulang meski dalam tempo yang sangat singkat.
.
Bagi
saya, mudik selalu asyik. Tahun ini H-2 saya baru bisa pulang ke rumah. Awal
Ramadhan kemarin saya memang sengaja tidak pulang, meski tempat kerja libur.
Sebab masih ada tanggung jawab perkuliahan yang harus diselesaikan. Meski baru
pulang menjelang hari raya Idul Fithri, suasana mudik di jalanan hari ini
memang cukup ramai. Lalu lintas sepeda motor, mobil maupun bus mengantarkan
para pemudik menuju tujuannya masing-masing. Ada perasaan gembira ketika mampu
pulang ke kampong halaman meski sejenak.
.
Bagi
saya, mudik berarti mengurai kenangan-kenangan tentang kampung halaman yang
telah lama ditinggalkan sebab harus merantau demi belajar dan mencari
penghidupan. Mudik juga berarti kembali bertemu kawan-kawan lama yang bisa jadi
semakin sulit ditemui lantaran kesibukan yang luar biasa. Apalagi di umur
menjelang seperempat abad ini, tentu sudah begitu banyak teman-teman yang tak
lagi hidup sendiri. Ramadhan mereka terasa begitu lebih berwarna dengan
kehadiran pujaan hati di sisi. Mudik juga bermakna ada waktu untuk kembali
berbakti kepada orang tua. Meski sebentar dan tidak lama, waktu yang ada harus
dimanfaatkan semaksimal mungkin. Bila orang tua telah tiada, tentu doa-doa
indah yang terpanjatkan kepada Sang Pencipta senantiasa ditunggu. Doakan
mereka, semoga diberikan tempat terbaik di sisi-Nya.
.
Selain
itu, mudik adalah kesempatan bertemu keluarga besar, baik dengan keluarga besar
ayah maupun ibu. Bisa jadi setahun lalu kita belum bisa berjumpa dengan mereka,
harapan kita di hari raya kali ini kita bisa bertemu dengan mereka. Mudik juga
saat yang tepat untuk bersilaturrahim kepada para guru kita. Saya sendiri
selalu menyempatkan bersilaturrahim kepada guru MI saya setiap hari raya. Kebudayaan
berkirim ucapan hari raya melalui smartphone tetap tidak bisa
mengalahkan keharmonisan ketika mampu bertatap muka langsung dan berbicara
banyak hal. Akhirnya, mudik tidak hanya sekadar tradisi tahunan umat Islam. Ada
banyak hal-hal positif yang dapat diambil. Jangan sampai mudik kita hanya
menjadi kebiasaan tahunan tiada makna dan arti. Tak ada yang tahu tahun depan
kita masih bisa kembali atau tidak ke kampung halaman ini, maka gunakan momen
tersebut dengan sebaik-baiknya.
.
@muhamin25
| 23 Juni 2017