Betapa
senangnya hati ini tatkala hujan kembali turun membasahi bumi siang ini. Di
tengah terik yang menyengat, usai sembayang dzuhur bulir-bulir air dari angkasa
turun dengan malu-malu.
.
Gerimis
terus saja menghiasi langit hingga sore menjelang. Genangan air terlihat di
sepanjang jalan. Aku pun harus berjingkat-jingkat sepulang dari mushola supaya
sarung tak terkena cipratan air hujan. Hari ini adalah puasa terakhir Ramadhan
tahun 1438 H.
.
Jika pada
zaman Nabi Muhammad, nabi dan para sahabat menangis tersedu sebab ditinggal
bulan yang penuh rahmat dan maghfiroh ini, maka lain halnya dengan umat zaman
ini. Mereka begitu bersuka cita dengan selesainya Ramadhan sebab Idul Fithri
berarti momen yang begitu berarti untuk bersenang-senang. Mungkin semasa
anak-anak dulu, kita berpikiran hal yang sama. Namun, seiring bertambahnya
usia, mestinya pola pikir kita sedikit berubah menuju pemikiran yang lebih
dewasa.
.
Idul
Fithri atau yang biasa disebut lebaran bila dipahami secara mendalam sungguh
memiliki makna yang sangat luas. Idul Fithri nanti berarti momen untuk terus
berupaya menjalankan komitmen berkelanjutan usai Ramadhan pergi. Kita bisa
lihat kualitas ibadah kita. Apakah tetap seperti Ramadhan, lebih meningkat
lagi, atau na’udzubillah hilang tak berbekas tak tampak lagi ibadah itu
kita lakukan dalam sebelas bulan sisanya. Idul Fithri sesungguhnya bukan
satu-satunya momen untuk saling meminta maaf. Saling memaafkan bisa kapan saja.
Idul Fithri juga bukan ajang pamer harta kekayaan setelah setahun merantau,
sama sekali bukan. Idul Fithri sesungguhnya momentum introspeksi diri. Sudahkah
target taqwa dari puasa benar-benar kita raih? Atau jangan-jangan hanya ucapan
di bibir tanpa wujud nyata. Idul Fithri juga bukan tempatnya membeli segala hal
baru. Bau baru, cat baru, pernak-pernik baru. Tetapi, lebih kepada bagaimana
menumbuhkan sikap ketaatan seorang hamba yang dho’if kepada Penciptanya.
.
Jangan
lagi kita berpikiran bahwa Idul Fithri sekadar bersenang-senang belaka. Bebas
melakukan amalan dosa kembali. Tidak. Perlu diketahui bahwa bulan Syawal
berarti bulan peningkatan. Artinya, bila amalan di bulan peningkatan tersebut
cenderung menurun, sesungguhnya kita sama sekali tidak mendapatkan esensi dari
bulan Syawal tersebut. Maka dari itu, mari bersama memanfaatkan akhir Ramadhan
ini untuk bermuhasabah, menghitung-hitung diri. Semoga di tahun mendatang
diberi kesempatan bersua kembali dengan Ramadhan. Semoga juga kita benar-benar
beridul fithri secara esensi, bukan hanya kulit yang bisa jadi sangat menipu
bagi siapa saja yang tidak menyadarinya.
.
@muhamin25
| 24 Juni 2017